if you wanna leave, then go
[Agit]
Dua minggu berlalu tanpa kejadian berarti. Dan selama dua minggu itu pula, Kak Doyoung menghilang. Aku tak dapat menemukannya di kelas, di kantin, di kafe, di tempat-tempat yang biasanya kami kunjungi; ia tetap tidak ada.
Entah bagaimana, aku pun mulai memaklumi kebiasaannya yang seperti ini.
Jika mengingat ke belakang, Kak Doyoung memang selalu meninggalkanku dan menghilang dengan tanda tanya. Kemudian kembali tanpa penjelasan apa-apa.
Kukira, hari ini, ia akan melakukannya lagi padaku. Tak perlu penjelasan, tak perlu kalimat penenang—karena sebenarnya tidak penting.
Ia kembali. Itu yang penting.
Maka ketika pesannya datang, aku buru-buru berlari, meniti satu persatu anak tangga gedung Teknik, dan tersenyum lega saat melihat sosoknya berdiri di tengah-tengah rooftop—membelakangiku.
Aku masih terengah ketika ia menoleh, menyadari kehadiranku. “Hey...” sapanya.
Aku pun mendekat, kebingungan dengan keadaan canggung ini. Tadinya, aku mengharapkan sebuah pelukan, atau apapun yang lebih dari sekadar sapaan bernada lesu itu. Maksudku, ia mencium keningku beberapa waktu lalu, bukankah wajar aku mengharapkan sesuatu yang lebih hangat dari ini? Terlebih, ini interaksi pertama kami selama berminggu-minggu.
Sudahlah.
“Udah lama ya kita gak ketemu?” tanyaku, berusaha tersenyum. Namun kecanggungan itu masih saja belum mencair. “Apa kabar, Kak?”
Aku ingin bertanya lebih banyak; tentang ke mana saja ia selama ini, tentang siapa perempuan yang berfoto bersamanya, tentang apapun... tapi segala tanya seolah lenyap di ujung lidahku ketika ia mengeluarkan sebuah rokok dan pemantik api dari saku celananya.
Di kejauhan sana, matahari mulai kembali ke peraduan. Semburat oranye mewarnai langit. Angin berhembus, hangat. Namun kutemukan diriku justru menggigil.
“Gue gak tau lo ngerokok?”
Ia tak menjawab, dengan acuh menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya. Kemudian ia menyalakan pemantik, melindungi api kecilnya dari hembusan angin dengan tangan.
Rambut hitamnya jatuh di sekitar dahi sampai menutupi mata ketika ia menunduk untuk menghisap gulungan tembakau itu. Asapnya berhembus, terbawa angin, membuatku reflek mengambil langkah mundur.
Saat akhirnya ia mengangkat pandangan, baru kusadari wajah itu sepucat kertas. Matanya sayu seperti tidak tidur berhari-hari, bibirnya kering, dan segalanya semakin terasa salah.
“Git, kita jangan sering-sering ketemu lagi, ya?”
Aku tahu ada penjelasan untuk itu, maka aku pun segara bertanya, “Kenapa?”
Lagi, ia menghembuskan asap rokoknya. “Jangan aja. Gue gak bisa nemuin lo.”
Kutatap ia dengan nanar, dan tidak mendapat balasan untuk itu. Ia menghisap lagi batang rokoknya, asap keluar dari celah bibirnya.
Kemudian, ia melanjutkan. Katanya, “Ada hati yang harus gue jaga,”
Detik itu, rasanya seperti dunia berjalan dalam tempo lambat. Aku memperhatikannya lekat-lekat, merasakan setiap asap tembakau yang dihembuskannya.
Tenggorokanku tercekat, sakit.
“You got someone else?”
“Semacam itu.”
“Who is she?” Kurasakan sebuah emosi memuncak, membuatku sesak bukan main. “Siapa? Siapa yang mau ngerebut lo dari gue, siapa?”
Kalimatku menguap bersama angin. Kak Doyoung lagi-lagi terdiam, seakan menikmati kesunyian ini.
“Are you trying to be funny or something? Am I a joke to you?” tanyaku lagi, berharap ia akan menjelaskan sesuatu. Tapi sampai menit berganti, ia tak kunjung bersuara.
Kulihat matanya, lama, dan melakukan itu justru hanya membangkitkan rasa sayangku padanya. Sayang yang kini membuatku muak. Sayang yang ingin sekali kubuang jauh-jauh.
Menyadari bahwa setelah semua yang kami lewati, ternyata aku masih menyayanginya seorang diri membuatku ingin menangis.
Aku ingin menangis karena segalanya tidak kumengerti.
“Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa harus bikin gue sempat percaya kalau perasaan gue terbalas dulu baru lo bilang lo punya orang lain?”
Ia tak menjawab, terus menghisap dan menghembuskan asap rokoknya. Mataku terasa perih.
“I’m not mad if you didn’t love me, but I’m mad because you acted like you did, and then you left me like I meant nothing to you,” kataku, sarat akan emosi. “If you wanna leave then go, don't make a non sense reason.”
Langit sudah sepenuhnya gelap ketika kurasakan air mata meleleh di pipi. Buru-buru kuhapus dengan punggung tangan sebab aku tak ingin menangis lagi di hadapannya.
Keep your smile on, ia pernah berkata seperti itu, you look preety with it.
Kenapa ia menyuruhku tersenyum? Kenapa aku harus tersenyum padanya ketika yang ia lakukan justru membuatku menangis?
Kak Doyoung bahkan tidak repot-repot membohongiku dengan alasan yang lebih baik. Ada hati yang harus gue jaga. Siapa? Siapa yang hatinya ia jaga sampai harus mematahkan hatiku dengan sengaja?
“Dunia terlalu bercanda sama kita berdua, Git,” jawabnya.
Di bawah kami, terlihat beberapa orang mahasiswa mengobrol membentuk kerumunan di sekitar area taman. Di sisi luar dari taman itu, lalu lintas nampak sesak. Halte ramai, bus berhenti, mobil mengklakson. Namun untuk beberapa saat, kalimatnya adalah satu-satunya yang mampu kudengar.
Aku tidak mengerti. Bagaimana caraku memberitahunya bahwa semua ini sulit kupahami?
“Brengsek!” Kudorong tubuhnya sampai ia mundur beberapa langkah. Batang rokoknya terjatuh karena sentakan itu, kemudian sebelum melangkah lebih jauh, kuinjak gulungan tembakau tersebut dalam-dalam; marah, sedih, kesal. Biar, hancurkan saja semuanya.
Aku berbalik. Untuk sejenak tertegun memperhatikan langit hitam yang kelam di atas sana. Tak ada bintang. Kak Doyoung masih berdiri di belakangku, entahlah apa yang bermain-main di kepalanya.
Ketika aku menoleh sekali lagi, kami berpandangan sebelum ia jadi orang pertama yang berpaling.
Aku langsung pergi setelah itu. Tapi dalam satu detik, atau mungkin kurang, kurasa aku masih melihat rindu di matanya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku menangisi kisah ini.