karena mencintai… muaranya tak selalu memiliki.

Sisa hari itu Doyoung habiskan di apartemen Jeffrey. Sembari menunggu teman-temannya kembali, ia memilih memandangi gelapnya langit malam hari dari balkon.

Kedua tangannya terjuntai di pagar pembatas, semilir angin yang menerbangkan helaian rambutnya serta-merta membuat pikirannya berlari ke suatu masa; rooftop gedung teknik, senja, dan Sagita.

Sagita.

Doyoung merindukan perempuan itu, tapi ia tahu, merindukan saja tidak cukup untuk membawanya kembali.

Melihat ketakutan di mata teman-temannya saja sudah berat, Doyoung tidak ingin menghadapi itu lagi. Terlebih, dunia Agit sudah berantakan, tidak mungkin baginya untuk menambah kekacauan di sana.

Saat ini, Doyoung merasa seperti berdiri di atas danau yang permukaannya membeku—yang sewaktu-waktu bisa saja retak lalu pecah, menelannya dan meninggalkan lubang menganga bagi orang lain. Ketika menatap Bunda, menatap keluarganya, dan menatap teman-temannya, Doyoung merasa seakan semua orang sedang bersiap dengan kemungkinan terburuk. Padahal, kalaupun ia harus mati, ia tidak ingin kematiannya dianggap skenario yang buruk. Ia sudah pernah hidup, ia sudah menjalani kehidupannya dengan baik dan itu cukup.

Doyoung ingin merasa cukup, sebab ia tidak ingin meninggalkan bumi membawa sesal yang belum selesai.

Segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya itu perlahan menimbulkan dengungan di telinga, membuatnya segera mengeratkan pegangan di pagar pembatas agar tak limbung. Akhir-akhir ini, frekuensi sakit di kepalanya naik dua kali lipat lebih sering.

Ia masih berusaha mencari gravitasi bumi ketika samar-samar, dentingan bel memasuki pendengarannya. Sembari mendecak, ia meninggalkan balkon, tertatih untuk membuka pintu.

Pintu terbuka perlahan....

Dan perempuan itu berdiri di sana, dalam jarak satu meter di hadapannya, tersenyum dengan binar mata yang masih sama seperti yang pertama kali Doyoung lihat.

Detik itu, ia harus mati-matian menahan diri untuk tidak menarik Agit ke dalam dekapannya.

“Hai.” Agit menyapa, hangat.

Agit memang selalu memiliki kehangatan ini.

“Hai,” balasnya singkat. Melihat garis senyum dan kedua mata yang serupa bulan sabit itu, hanya membuatnya kembali menyadari betapa ia merindukan perempuan ini. “Mau ketemu Jeff? Dia lagi keluar.”

“Gue mau ketemu lo.”

“Ada apa?”

“Ada rindu.”

Agit tersenyum lagi, membuat Doyoung lantas menghela napas panjang. Untuk sejenak, Doyoung tidak memahami bagaimana mekanisme pertahanan diri perempuan di hadapannya ini. Bagaimana bisa Agit bersikap seakan tidak terjadi apa-apa di antara mereka? Lalu Doyoung ingat, ah… Agit sedang berpura-pura.

“Gue gak ditawarin masuk?”

“Gak boleh.”

“Ini kan bukan apart lo!” Agit mendengus. “Pelit banget. Gak jelas banget. Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngilang, ntar baik lagi, ngasih harapan lagi, pergi lagi—”

“Git,”

“Yang jelas-jelas ajalah, Kak. Jangan suka bikin bingung. Jangan suka ambil keputusan sendiri.” Doyoung berusaha menyela, namun mendapati Agit kini tak lagi tersenyum justru membuat lidahnya kelu. “Gue udah bilang gue sayang sama lo. Gue terlanjur menjatuhkan hati gue buat lo, Kak. Dan itu, gak pernah gue sesali sampai detik ini.” Agit terengah begitu menyelesaikan kalimatnya, sorot matanya penuh luka saat memandang Doyoung yang masih bergeming.

Waktu berlalu, keduanya tetap mematung di ambang pintu. Agit bahkan tak peduli jika suaranya menggema di lorong koridor yang sepi.

“Sekarang gue harus gimana, Kak?” Doyoung menatap gadis itu lurus-lurus, menyaksikan bagaimana perlahan-lahan Agit meluruhkan topengnya. “Sekarang gue harus gimana? Gue masih mau mencintai lo, gue udah melakukannya bertahun-tahun dan gue rasa… gue masih bisa mencintai lo, untuk waktu yang sangat—sangat lama.”

Doyoung bungkam, namun hatinya berteriak, Jangan jatuh cinta sama gue, gak ada yang bisa gue kasih selain luka nantinya.

“Meski lo akan terus menganggap gue gak ada, meski lo bakal terus menghilang… gak apa-apa. Mencintai lo gak pernah jadi pekerjaan yang melelahkan,” Agit melanjutkan dengan getir, dengan genangan air yang berkumpul di pelupuk matanya.

Meski gue bilang gue bakal berusaha jadi alasan lo bahagia, meski gue bilang gue bakal ikut lo melawan semesta, gimana kalau gue gagal dan lo semakin terluka? Doyoung kembali menimpali dalam hati.

“Tolong, jangan menjauh lagi dari gue. Untuk alasan apapun itu, jangan lari dari gue.”

Keduanya bertatapan, lama, seolah larut dalam pikiran masing-masing.

Gue sengaja ngambil langkah mundur, dan gue paksa lo berbalik pergi. Tapi kenapa lo terus kembali lagi? Jangan datang ke gue, karena gue yang bakal ninggalin lo nantinya.

Setetes air mata jatuh di pipinya, Agit menangis tanpa suara.

Sementara itu, Doyoung memaki dirinya sendiri. Pada ketidakmampuannya membuat Agit bahagia, pada ketidakmampuannya bertahan di sisi gadis itu, dan pada keadaan yang memaksanya menyerah; sakit. Kepalanya seperti dipukuli dari dalam. Dadanya seolah dipenuhi bebatuan. Sakit, sesak, dan segala emosi bergumul jadi satu.

“Gue bingung.”

Gue tahu.

“Gue kangen lo.”

Gue juga.

“Gue kacau tanpa lo.”

Gue jauh lebih tersesat.

Doyoung memejamkan matanya sesaat, mengambil dan menghembuskan napas agar sesak di dadanya hilang.

“Perihal perasaan gue, biarkan aja mati perlahan.” Agit memandang Doyoung, air matanya semakin berjatuhan tatkala menyadari betapa sendu lelaki itu menatapnya. “Tapi bukan sekarang, pun bukan karena perpisahan.”

Mendengar itu, Doyoung memijat pangkal hidungnya, berusaha meredam rasa nyeri di dalam sana. Kemudian pada Agit, ia berbisik, “Kita berdua, gak akan kuat melawan semesta, Git,” katanya, serak dan parau.

Agit mengangguk, menjatuhkan beberapa tetes airmata lagi. Tapi kali ini, ia mengulas senyum.

“Gue bukan mau melawan kehendak semesta, Kak. Gue cuma mau mencintai lo sampai selesai meski gue tau mencintai muaranya gak selalu memiliki.”

Ada keteguhan dan secercah keberanian dalam kalimat itu, yang membuat Doyoung segera merapatkan jarak di antara mereka tanpa banyak berkata-kata. Ia mendekap Agit erat-erat, seakan jika ia melepaskan pelukan itu, Agit-nya akan hilang. Wajahnya terbenam di puncak kepala Agit, setetes air matanya jatuh di sudut mata, tapi tak apa—Doyoung tak peduli.

Di sisi lain, Agit menangis hebat dalam pelukan itu. Tanpa pretensi, tanpa pertahanan. Semuanya luluh lantak. Kedua tangannya mengerat di pinggang Doyoung, merasakan bagaimana tubuh besar itu menutupi pandangannya, seakan tengah menjaganya dari dunia.

Agit tidak tahu bagaimana semesta akan bekerja, atau bagaimana kisah ini akan berakhir. Namun apapun itu, Agit ingin percaya bahwa ada bahagia untuk mereka.

Dan untuk itu, ia tak perlu restu siapa-siapa.

Bahkan jika pada akhirnya masa yang memisahkan, tak apa, karena Agit tahu; mencintai… muaranya tak selalu memiliki.


Di ujung lorong koridor, tidak ada yang tahu bahwa detik itu Jeffrey hadir di sana.

Ia mendengarkan semuanya, dari awal hingga akhir, dan tetap di sana meski sadar hatinya tak baik-baik saja.