anandaleaa

Gorden jendela ruang rawat Keenan tersingkap, menjadikan lampu luar dan lampu dari gedung-gedung di seberang sebagai satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini.

Aku menarik selimut lebih tinggi, menutupi badanku dan badan Keenan sampai sebatas dada. Seringai miring muncul di wajahnya ketika memperhatikanku merapikan selimut, kemudian bergerak perlahan untuk merapatkan diri padaku.

“Lampunya biarin mati aja, ya? Gak takut, kan?”

Aku mendesis. “Emangnya gue anak kecil apa?”

Ia mengangguk. “Pintu udah dikunci?” tanyanya lagi, tatapannya yang nakal tiba-tiba membuatku beringsut mundur.

“Kenapa harus dikunci?”

“Ntar ada orang yang masuk gimana?”

“Emang kenapa? Kita kan cuma bobo bareng.” Kedua alisku bertaut, heran kenapa Keenan terlihat mencurigakan, padahal kami sudah melakukan kegiatan ini sejak kecil dan tidak pernah keluar batas.

Lagi, seringai itu kembali muncul, matanya mengerling jahil. “Oh, cuma mau bobo bareng, ya? Tapi kan gak ada Keana sama Dika, berarti bisa lebih harusnya.”

Aku membulatkan mata. “Kacau otak lo abis operasi jadi begini? Otak lo ketukar apa? Gila, ngeri abis gue pulang aja, ah!”

“Jangan, dong.” Keenan langsung merengek dengan kedua tangannya yang melingkar di badanku, menahanku agar tidak menjauh. “Kalau lo ninggalin gue lagi, gue bakal benar-benar pergi dari hidup lo. Mau?”

“Nggak….”

“Makanya, diam aja.” Keenan kalau ngancam seram juga, ya. “Jangan pernah berpikir buat ninggalin gue, lo udah punya gue, gak ada penolakan.”

Aku tersenyum, lalu memainkan jari-jariku di kepala botaknya. Ah, aku tidak sabar akan menyaksikan bagaimana rambutnya tumbuh dan mulai panjang.

Aku juga tidak sabar untuk melihatnya bisa bermain bola lagi. Aku ingin ada di sana, menyorakinya ketika mencetak gol, memberinya minuman dingin, menontonnya merayakan kemenangan bersama timnya di tengah lapangan.

Aku ingin ada di sana, menemaninya membaca buku-buku hukum di perpustakaan, memperhatikan dahinya yang senantiasa berkerut ketika mengerjakan soal-soal tes masuk universitas, lalu jadi orang pertama yang mendapat berita baik tentang kelolosannya.

Aku ingin melakukan itu semua, seperti yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

“Kak Dimitri benar, ya. Orang-orang yang ditakdirkan hadir dalam hidup kita, sejauh apapun mereka pergi—”

“Mereka selalu punya jalan buat kembali,” Keenan menyambung kalimatku, lalu seulas senyum yang begitu lembut melintasi wajahnya. “Lo tau? Bagian ironisnya adalah, Kak Dimitri, orang yang bisa dibilang merebut lo dari gue malah jadi orang yang bikin gue pengen bertahan buat lo.”

Aku lantas mengernyit. “Kok gitu?”

“Sebelum gue pergi ke Singapura, gue nemuin dia. Dia bilang sama gue buat jangan menyerah, jangan sampai gue nyesal karena udah ninggalin orang-orang yang sayang sama gue.” Keenan mengusap dahiku, senyumnya penuh arti. “Kalimat itu yang selalu gue ingat selama di ruang operasi.”

Tatapanku jatuh di kedua matanya yang berbinar-binar. Di titik ini, aku salut pada dunia, pada caranya memutarkan kebaikan. Faktanya, kalimat itu adalah kalimat yang kuucapkan pada Kak Gladys—ketika aku menemukannya tengah sibuk menggoreskan sebuah silet di salah satu pergelangan tangannya.

Semesta memang selalu memiliki caranya sendiri dalam membahagiakan seseorang. Dan bagiku, kebahagiaan itu sesederhana menyadari bahwa keberadaanku mampu mengisi ruang yang rumpang dalam hidup orang lain.

Anyway, surat buat gue mana? Lo bilang di chat lo balas surat gue?” Pertanyaan Keenan membuatku mengerjap seketika, lalu tersenyum kikuk, sadar bahwa surat yang kutulis untuknya agak sedikit menggelikan.

“Oh? Gak usah di baca, deh.”

“Enak aja. Mana? Nih, pemiliknya udah di sini, mau gue baca.”

Aku tergelak. “Gak usah! Malu tau?!”

“Kok malu?” Kedua alisnya bertaut. “Hayo, nulis apa emang?”

“Apa aja boleh!” jawabku seraya menjulurkan lidah meledek, membuat Keenan ikut tertawa.

“Pasti nulis tentang betapa sayangnya lo ke gue, kan?”

“Iwh, kepedean banget. Tapi, emangnya kalau iya kenapa?” Keenan tak lagi menjawab, tangannya bergerak untuk mengusap pipiku dengan lembut, kemudian mendekatkan wajahnya perlahan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi detik di mana bibirnya menyentuh keningku, adalah detik di mana aku merasa begitu berarti.

“Gue sayang lo,” bisiknya. Tatapan matanya yang sayu membuatku panas dingin, sorot matanya begitu dalam seperti blackhole, menarik semua kewarasanku yang tersisa.

“Gue lebih,” balasku, lalu senyum yang teramat hangat itu kembali terukir. Dapat kurasakan tangannya mengeratkan pelukan kami seiring dengan matanya yang mulai terpejam. Malam ini, aku akan selalu mengingat malam ini sebagai salah satu malam paling indah dalam hidup.

Terimakasih, Keenan….

Untuk menjadi teman hidup, untuk menjadi seseorang yang membuatku merasa berarti telah dilahirkan ke bumi.

[HANA]

Berbekal pesan dari Ardika yang menyusul balasan Keenan, dengan perasaan tak karuan kutinggalkan segala ragu dan takut yang menjelma menjadi satu, menyeret serta Kak Gladys untuk mengantarku ke rumah sakit tempat Keenan di rawat dulu.

Melewati kemacetan ibukota dan setengah jam kemudian, aku tiba di sana, mematung di depan pintu salah satu ruang rawat yang tengah terbuka.

Berat. Kakiku berat untuk melangkah, seolah keduanya sudah menyatu dengan lantai. Aku membekap mulut yang hampir ingin berteriak ketika menyadari di dalam sana, sosok yang memunggungiku itu tengah terkekeh-kekeh di atas ranjangnya.

Ia kembali. Ia… sungguh kembali.

Ardika dan Keana yang lebih dulu menyadari kedatanganku lalu melambaikan tangan, membuat Keenan lantas menoleh. Sejurus kemudian, mata kami berpandangan, dan begitu senyumnya melengkung, pertahananku runtuh seluruhnya.

Aku terisak.

Jahat.

Dasar lelaki jahat!

“Heh, kok nangis?” tanyanya tanpa rasa berdosa. Tangannya terbuka, memberiku tanda untuk mendekat.

“Lo… beneran Keenan?”

Ia tertawa semakin lebar. “Bukan. Pangeran William.”

“Jangan bercanda!” sentakku sembari menangis sejadi-jadinya. Keenan terperangah sesaat, namun senyumnya kembali melengkung ketika akhirnya ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Kenapa nangis, hm?” Sorot matanya melembut, mengusap air mata yang terus berjatuhan membasahi pipiku. Sementara itu, sebelah tangannya yang lain melingkar di pinggang, membawaku ke dalam pelukannya perlahan. Begitu merasakan dekapannya, aku menutup mata, tersedu di sana, teringat segala perlakuan burukku padanya dan berpikir kalau aku mungkin tak memiliki kesempatan memperbaiki segalanya.

Namun, di sinilah kami detik ini.

Keenan mengusap belakang kepalaku pelan, hela napasnya teratur, sesekali dapat kurasakan tubuhnya bergetar karena menertawakan tingkahku sekarang.

“Kangen, ya?”

Pertanyaan bodoh.

Aku mengangguk, sibuk menetralkan napas yang masih tersengal. Ia berbisik di telingaku. “Pake banget gak?” tanyanya.

“Iya, pake banget yang banyak.”

“Kasih tau jangan?” bisiknya lagi, kali ini sorot matanya nampak jahil.

“Apa?”

“Gue juga kangen. Pake banget yang banyak.”

Senyumku segera mengembang mendengar kalimatnya itu. Aku melepas pelukan, lalu mengamati sosok laki-laki yang amat kurindukan ini. Selain kepalanya yang botak dan berat badannya yang turun, kurasa Keenan tak banyak berubah. Ia masih Keenan yang sama, Keenan yang memiliki sorot mata secerah matahari pagi, Keenan yang senyumnya sehangat bulan Juli.

“Kepala lo botak,” ucapku sembari melarikan jari-jari di atas kulit kepalanya yang sudah kembali ditumbuhi tambut-rambut kecil, panjangnya kurang dari satu senti. Jika mengusap lebih ke belakang, ada luka bekas jahitan yang belum sepenuhnya sembuh. Kupandangi ia sekali lagi, membayangkan bagaimana hari-harinya selama ini.

Syukurlah, syukurlah Keenan baik-baik saja.

“Kenapa? Gak jadi kangen kalau gue botak? Gue balik aja ya ke Singapura?” Ia pura-pura memberengut.

“Jangan….” Aku merengek, memeluk tangannya seperti seorang anak kecil.

“Ekhem!” Itu suara batuk Ardika. “Mesra amat, dunia berasa milik berdua, ya? Hehe, iya, gue sama Keana mah ngekos,” lanjutnya, menaruh tangan di sekitar leher Keana, sementara Keana menggerutu sendiri dirangkul secara tiba-tiba seperti itu.

Keenan tertawa, sedikit terperangah melihat kemesraan Ardika dan Keana—sudah kubilang, mereka berdua seperti orang pacaran.

Entahlah kapan sebenarnya ini semua di mulai, sejak Keenan hilang, kurasa aku banyak melewatkan momen dalam hidupku, salah satunya adalah hubungan mereka.

“K, gak kangen gue?” Keenan melayangkan tatapan jahil pada Keana. “Gak mau peluk gue juga?”

Keana yang tengah sibuk dengan televisi di langsung membulatkan matanya. “Hah? Apa-apaan lo?”

Keenan melebarkan senyumnya, kemudian merentangkan tangannya kembali, seperti meminta peluk. “Peluk dong? Katanya suka sama gue?”

Giliranku yang membulatkan mata. Apa? Apa tadi, katanya?

“Keenan abis dioperasi kok jadi kayak tayi, ya?” Keana mendelik, membuat Keenan puas tertawa. Aku dan Ardika saling pandang, bingung sendiri.

“Terus aja terus… masih gue pantau, bentar lagi gue sedot ubun-ubunnya sampe penyok,” decak Ardika, yang kubalas dengan anggukan sengit seraya melipat tangan di depan dada.

Aku ingin bertanya tentang maksud kalimat Keenan sebelumnya dan tentang apa saja yang terjadi tanpa kuketahui, tapi melihat ketiga orang ini, saat ini, detik ini, aku merasa aku tak perlu mengkonfirmasi atas apapun. Selamanya, pada merekalah kutemukan tempat yang bisa disebut rumah. Selamanya, pada merekalah kutemukan arti bahagia yang sesungguhnya.

Ardika dan Keana melanjutkan perdebatan mereka yang melibatkan perang bantal serta lemparan bungkus makanan di mana-mana, membuatku dan Keenan tergelak seolah sedang menonton sirkus gratis.

Kemudian, Keenan menarikku kian dekat, mendudukkanku di sisi ranjang—tepat di sebelahnya. Kami berbagi tatap, suara debat Ardika dan Keana masih memenuhi ruangan, tapi satu-satunya suara yang kami dengar justru ungkapan isi hati masing-masing.

Aku menghela napas sembari menarik senyum, mengusap pipinya yang lebih tirus dari yang terakhir kuingat. “Makasih udah pulang.”

“Makasih juga udah nunggu,” jawabnya pelan.

Ah, Keenan….

Andai aku tahu sejak dulu kalau mencintainya semenyenangkan ini, aku rasa aku tak akan ada waktu untuk jatuh cinta pada orang lain yang belum tentu bisa mencintaiku sehebat dirinya.

Semesta, aku sayang Keenan.

Aku cinta dia, pakai banget yang banyak hahahaha.

[DIMITRI]

Keenan ternyata benar-benar pergi beberapa hari kemudian.

Sejak dia menghubungi gue lewat chat malam itu, gue meminta Tio buat mengawasi Hana. Iya, gue rupanya masih gak bisa buat gak peduli. Dan kabar dari Tio itulah yang bikin gue sampai di koridor rumah sakit ini, memandangi Hana yang tengah menangis dari kejauhan.

Melihatnya hancur begitu, gue ingin berlari dan membawa dia dalam peluk gue, tapi gue jelas tahu gue gak seharusnya melakukan itu.

Gue diam di sana selama beberapa jenak, terduduk di salah satu kursi, menjadi satu-satunya orang yang menghuni ruang tunggu. Sampai kemudian, suara seorang perempuan membuat gue menoleh.

“Lo ngapain di sini?” tanyanya bingung.

“Lo sendiri ngapain?” Gue balas gak kalah skeptis. Setau gue, Gladys bukan kakak yang baik buat Hana, gue heran aja ternyata dia peduli. “Gue ke sini karena seseorang nitipin Hana sama gue, itu aja,” gumam gue sembari mengedikkan bahu karena Gladys masih tampak penasaran. Dia lalu mendengus, dan duduk berjarak dua kursi dari tempat gue.

Really?” Gladys ketawa pelan, tapi tawanya kedengaran mengerikan karena bergema di koridor. “Liar!

Gue tatap dia sinis. “Please, gak usah mancing keributan.”

Dia masih terkekeh, entah buat apa. “Gue kira lo sama Hana bakal longlast,” katanya, lama mengenal Gladys, gue bisa membedakan mana kalimatnya yang sarkas dan tulus semudah membalikkan tangan. Dan kali ini dia kedengaran tulus mengucapkan itu. “Gak usah tersanjung, sama kayak lo yang masih mau mastiin Hana baik-baik aja, kurang lebih gue juga begitu.”

“Lo sayang Hana?”

“Gue sayang lo, tolol.”

Giliran gue yang ketawa. “Gue emang sayang-able.”

Gladys gak memprotes kalimat gue dan sibuk memandang ke depan, ke salah satu pintu ruang rawat yang tertutup.

“Lo tau? Gue mencintai lo di titik-titik terendah dan tergelap lo, Dim. Gue mencintai lo tanpa pengharapan apakah lo baik atau buruk untuk gue. Gue mencintai lo hanya karena itu lo, karena lo pantas dicintai dengan baik atau buruknya lo, karena cuma lo manusia yang paling mudah sekaligus paling sulit buat dicintai.”

Suaranya pelan, tapi justru terdengar begitu keras di tempurung kepala gue. Gue bersandar di kursi, kehabisan kata-kata buat membalas kalimat Gladys. Tengah malam, rumah sakit benar-benar lengang, dan di antara keheningan yang mencekam itu, gue dan Gladys kemudian larut dalam pikiran masing-masing.

Setelah jeda yang cukup lama, dia menarik napas lagi. “Lo itu paradoks. Mencintai lo berarti meninggalkan lo sendiri, karena lo selalu membuat garis di mana orang-orang yang mencintai lo mulai ragu, lo terlalu membentengi diri—seolah semua orang gak pernah ada yang benar-benar berarti buat lo. Dan di titik tertentu, pergi jadi satu-satunya hal terbaik supaya cinta ini gak berubah jadi benci.”

“Gimana gue gak membentengi diri sendiri kalau selama ini yang gue dapat gak pernah setimpal sama apa yang gue beri?” Gue gak pernah menyangka tawa yang mengakhiri pertanyaan gue bisa segetir itu.

Yang gue tahu, gue harus selalu kelihatan senang—baik-baik aja, seperti pilar yang kokoh. Jadi, setiap kali ada sesuatu yang melukai gue, gue sering menghiraukan hal tersebut, seolah itu gak mampu menyakiti gue. Rupanya, Gladys menyimpulkannya dengan cara lain.

“Lain kali, lo harus lebih tulus ngelakuin sesuatu. Gue, Hana… bukannya kita berdua udah cukup buat jadi bukti?” Gladys menoleh, tatapannya jatuh tepat di mata gue. “If someone really that matter in your life, and she give a sign that she’s enough and wanna leave, you should fight for her to stay, aren’t you?

Gue balas tatapannya, tapi gue gak mampu balas pertanyaannya. Bukan, bukan karena gue gak tahu harus menjawab apa, tapi justru karena gue tahu, dan gue merasa ditinju keras-keras.

Terkadang gue harap gue bisa melakukan itu, memperjuangkan Gladys sewaktu dia tiba-tiba pergi, memperjuangkan Hana sewaktu dia memutuskan buat pergi juga, tapi bahkan gue gak berusaha melakukannya karena gue gak percaya diri. Mereka melepaskan gue seakan gue memang gak layak dipertahankan, apa yang bisa gue harapkan lagi jika begitu adanya?

“Lo harus belajar mencintai diri lo sendiri, jauh lebih dulu sebelum lo mencintai orang lain. Jadi begitu mereka mau pergi, lo bisa merjuangin mereka karena lo tau lo udah ngasih yang terbaik—alih-alih membiarkan mereka pergi begitu aja dan berujung ngerasa kalau lo gak pantas dicintai.”

Sepertinya, exchange memang mengubah Gladys dari seorang perempuan cengeng semi pemarah yang selalu berpikir kalau semua orang di sekitarnya menyebalkan, jadi seorang wanita dewasa yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dia kelihatan kayak orang yang udah berdamai sama dirinya sendiri.

Senyum gue tertarik begitu pandangan kita mengunci satu sama lain, gue rasa… itu bukan karena exchange.

Jadi benar, ya? Kalau patah hati bisa mengubah seseorang.

Obrolan gue dan Gladys berakhir di situ, ketika malam beranjak semakin larut dan ia berpamitan lebih dulu karena harus membawa Hana kembali ke rumah. Dari jauh, gue amati keduanya yang berjalan bersebelahan selama menuju tempat parkir, dan meski gue gak dengar apa yang Gladys bicarakan pada Hana, gue tahu apapun itu, pasti sesuatu yang baik.

Gue mungkin gak bisa menjaga Hana seperti yang ingin gue lakukan atau seperti yang Keenan harapkan, tapi bisa memastikan kalau Hana gak sendirian udah lebih dari cukup buat gue—suatu pencapaian, karena gue gak biasanya merasa bahagia untuk hal-hal yang bukan gue alasannya.

Lagi-lagi, ternyata benar ya, patah hati bisa mengubah seseorang.

Dan seperti Gladys, gue harap gue bisa segera berdamai dengan diri sendiri.

[HANA]

Aku tidak pernah berpikir, Keenan meninggalkanku dengan cara seperti ini.

Kak Gladys di sampingku mengemudi seraya menguap beberapa kali, terlalu malas untuk menghiburku yang sedang menangis—atau justru ia memang tidak peduli—tapi ada sesuatu dari bahasa tubuhnya yang mengindikasikan kegugupan, sesuatu yang kini menjadi atmosfer di dalam mobil.

Tumpukan pesan dan belasan telepon yang tidak terjawab memenuhi ponsel yang kugenggam erat-erat, chat dari Ardika dan Keana tak mampu kubalas, hanya bait-bait kata tentang kepergian Keenan yang terus menerus berputar di kepalaku, terlalu rumit sampai kurasa seluruh tubuhku menggigil karenanya.

Tahukah kalian bagaimana rasanya dunia kalian hancur hanya dalam satu malam? Seperti tersesat dalam negeri antah berantah, dan kalian tak bisa menemukan diri sendiri dalam kekacauannya?

Karena itulah yang sedang kurasakan saat ini, detik ini.

Kedua kakiku bergetar, seolah bumi yang kupijak akan segera runtuh. Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, Ardika dan Keana terduduk lemas di kursi tunggu. Aku berjalan dengan perasaan gamang sembari menghampiri mereka, sekuat tenaga untuk tidak panik.

Namun usahaku gagal ketika menoleh ke satu sisi, pintu ruang rawat Keenan terbuka lebar, ada petugas yang sedang membersihkan ruangan itu.

Seketika aku tahu, aku terlambat.

“Keenan mana?” Aku dapat mendengar suaraku sendiri, mungkin karena suaraku yang tiba-tiba serak, atau karena orang-orang di sini terdiam, entahlah. Keana menunduk, beberapa detik berlalu dan tidak ada jawaban atas pertanyaanku selain isak tangisnya yang pilu.

“Keenan mana?” aku membeo, seperti orang bodoh. Saat itu, sorot mata yang Keana layangkan padaku nampak begitu sedih. Ketika kuperhatikan, kedua tangannya yang terkepal di atas lutut bergetar.

Kutatap Ardika yang kini bangkit menghadapku, tapi tatapannya tidak kupahami, atau mungkin aku paham tapi aku tidak mau mengakui itu.

Tolong, tolong siapapun bilang padaku bahwa aku salah.

“Keenan mana!” jeritku, menarik-narik lengan Ardika dengan membabi buta. Jika mereka menjahiliku lagi, aku bersumpah aku tidak apa-apa. Jika ini semua mereka lakukan karena ingin menertawakan reaksi konyolku, aku sungguh tidak apa-apa asalkan Keenan tidak pernah ke mana-mana.

Namun, bukan seulas senyuman jenaka, bukan juga getar tawa yang kudapat, melainkan sebuah pelukan. Aku mematung, tapi begitu Ardika mengusap punggungku pelan, dapat kurasakan satu per satu tembok pertahanan diri yang kubangun runtuh begitu saja, meninggalkan seonggok jiwa tanpa cangkang—yang rapuh, yang penuh luka, yang ketakukan setengah mati.

Dalam beberapa detik, aku memejamkan mata saat pelukan itu berlangsung. Pelukan yang hangat, yang seperti bermaksud untuk membagi kekuatan. Sewaktu akhirnya membuka mata, pikiran tentang kehilangan itu telah berhasil menghujam jantungku, melumpuhkan seluruh sarafku.

Keenan pergi. Keenan benar-benar pergi meninggalkanku tanpa pamit.

“Keenan dibawa ke Singapura, dia bakal baik-baik aja di sana,” bisik Ardika berusaha meredamkan tangisku.

Tapi, kenapa Keenan melakukan ini padaku? Kenapa hanya aku yang tidak tahu tentang kapan ia akan pergi? Aku bahkan tidak bisa menemuinya akhir-akhir ini, aku tidak pernah diberi kesempatan untuk bilang bahwa aku akan selalu menunggu kesembuhannya di sini.

“Keenan bakal baik-baik aja, dan kalaupun nggak, dia mau kita ngelanjutin hidup kayak biasa.”

Pembohong!

Bagaimana mungkin aku melanjutkan hidup seperti biasa ketika aku kehilangan separuh hidupku yang lain? Bagaimana mungkin, Keenan sengaja menghindariku hanya karena tahu ia akan pergi tapi tidak bisa memastikan kapan ia akan kembali?

Ardika melepaskan pelukannya, lalu meletakkan kedua tangan di bahuku. Ketika aku menaikkan pandangan untuk menatapnya, sisa-sisa air yang belum mengering masih ada di pelupuk matanya, memerah, menunjukkan luka menganga di baliknya

“Keenan bakal pulang, kan?” tanyaku, padahal aku sadar baik Ardika dan Keana, kami sama-sama tidak tahu jawaban untuk pertanyaan yang satu itu. Tapi aku tetap melakukannya, agar menjadi kuat, agar menjadi berani.

“Keenan bakal pulang,” balas Ardika, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia harus pulang, Na.”

Kemudian, secarik amplop berwarna kecoklatan disodorkannya padaku, yang kutatap dengan sinis. Hati kecilku berkata aku tak boleh menerimanya, sebab apapun yang tertulis di dalam sana, aku tahu itu cara Keenan mengucapkan selamat tinggal.

Aku tidak mau, aku tidak ingin ada perpisahan.

Namun, melihat amplop sederhana itu, aku seperti melihat Keenan sendiri. Bagaimana ia menuliskannya, kapan, dan kenapa? Semua pertanyaan itu mendorongku untuk menerima surat tersebut, lalu menyadari bahwa Keana menggenggam amplop yang serupa.

Tenggorokanku sakit, dadaku sesak—seperti dihujam ribuan jarum—perih.

Aku kembali terisak dalam diam. Rupanya, Keenan telah menyiapkan semuanya.

Dan dengan caranya sendiri, ia telah berpamitan.

[HANA]

Keesokan harinya, selama menunggu pergantian kelas yang kuhabiskan di kantin fakultas, Keana dan Ardika menemaniku, dengan sibuk menyodorkan handphone dan memberitahuku kalau radio kampus sedang siaran.

Jujur, kami bertiga tidak tertarik dengan radio kampus juga tak pernah mendengarkannya tiap kali siaran, jadi mendapati Keana sibuk menaruh ponsel di tengah-tengah meja yang kami tempati, menyetel volume dengan pas, membuatku lantas mengernyit.

“Sejak kapan lo suka dengar radio kampus?”

Ardika mendelik. “Sejak dia tau guest star hari kakak lo, sama Presiden BEM.”

“Serius? Kak Dimitri sama Cici ikut siaran, atas dasar apa?” tanyaku bingung, lagipula bukankah hubungan mereka tidak baik-baik saja?

“Tukar pikiran bersama mantan kali?” Omongan Ardika dibalas pukulan oleh Keana. “Yaudah iya, aku selalu salah, aku mengeluh dengan hidup ini!” lanjutnya sembari meringis. Aku ingin tertawa, tapi tak kuasa karena tiba-tiba hatiku terasa berat mendengar kalimat Ardika sebelumnya. Buru-buru kutepis perasaan itu jauh-jauh.

“Sotoy lo, kecebong! Cici diundang karena baru pulang exchange, kalau Kak Dimitri … no idea!” jelas Keana, sebagai salah satu biang gosip kampus, aku takjub bagaimana Keana selalu up to date tentang segala hal. Setelah kami bertiga berubah hening dan lagu dari siaran radio berakhir, penyiar perempuan bersuara riang membuka sesi curhat—yang curhatannya berasal dari kiriman mahasiswa-mahasiswi kampus.

Inbox pertama masuk, nih. Saya bacain, ya. _Uhm, halo. Saya mahasiswa tingkat dua, rencananya mau mengajukan aplikasi buat exchange tapi masih ragu dan ada banyak pertimbangan ternyata. Kak Gladys, kalau boleh tau motivasinya apa, ya? Dan bagi pengalamannya juga dong biar saya semakin membulatkan niat. Makasih, Kak._ Have a great day!”

Have a great day too!” Suara Kak Gladys terdengar ramah dan excited, aku tersenyum mendengarnya.

Penyiar tersebut menyahuti, “Pertanyaan yang bagus, saya juga mau tau deh, apa motivasi terkuat Kak Gladys buat exchange, dan apa aja pengalaman yang Kakak dapat di sana? Silahkan dijawab, Kak.”

“Wah, thanks to everyone who asked me, but please keep your expectation low as my answer might disappoint you.” Alisku menukik begitu Kak Gladys tertawa canggung, lalu mulai menyadari akan ke mana topik ini berlanjut. “Awalnya, saya gak pernah berpikir aplikasi yang saya ajukan bakal diterima, tapi suatu hari hidup mulai menyebalkan. Dari yang udah menyebalkan, jadi semakin menyebalkan,” ia menjeda. “It feels like everyting I wish for seems complicated and is getting more and more worse, I’m tired of living like that, I want to escape from reality. Dan saat itulah, kesempatan itu datang.”

“Dengan melarikan diri?” Tidak ada yang lebih terkejut dariku ketika suara Kak Dimitri tiba-tiba terdengar. Keana dan Ardika menatapku bersamaan, tapi aku memilih fokus pada radio.

“Ya, dengan melarikan diri. Saat itu saya mulai mempertanyakan apa arti saya di mata orang-orang, dan ketika saya butuh itu nggak ada yang benar-benar meyakinkan saya. Bagi ayah saya, saya adalah si sulung yang harus menjadi contoh untuknya adiknya, maka sewaktu saya bilang saya dapat kesempatan exchange, beliau dengan bangganya menyuruh saya pergi. Hal yang sama berlaku pada teman-teman saya, bahkan orang terdekat saya. I was someone’s ‘home’ for a years. He told me I was his home, but he just easly let me go. Gak ada yang benar-benar membutuhkan saya, we’re replaceaple.”

“Saya memulai pertukaran pelajaran ini dengan motivasi yang nggak cukup baik, don’t mad at me. Tapi begitu saya pergi, mengenal orang-orang baru, tempat yang baru, lingkungan yang baru, saya paham kalau dunia berubah, manusia berubah, begitu pun posisi kita dalam kehidupan orang lain. The world doesn’t revolve around me, and then I realize I can only depend on myself.

Sudut-sudut bibirku tertarik ke atas dengan sendirinya, entah kenapa kurasa di dalam ruangan siaran itu pun, Kak Gladys pasti tengah tersenyum.

“Pertukaran pelajar bagi saya bukan sebuah prestasi, lebih dari itu, saya bisa memandang dunia dengan lebih baik. Alih-alih mendapat ilmu, saya rasa saya hanya dapat hikmahnya.”

Ardika terbahak sekencang-kencangnya, membuat para ibu-ibu penjaga kios dan seisi kantin menoleh pada kami. Aku sendiri tak dapat menyembunyikan tawa, sebab dari radio, tiga orang di sana juga terdengar tengah terkekeh-kekeh.

Kak Gladys menghela napas sebelum melanjutkan lagi, “Tapi bagaimanapun, evaluasi kembali niat kalian yang mau exchange. Healing, melarikan diri, atau memang ingin belajar? Sebab saya yang niat awalnya ingin melarikan diri, ketika kembali saya sedikit membawa rasa sesal dan kecewa. Seandainya saya bisa melakukannya dengan lebih baik, itu yang saya sesali. Saya rasa, setiap mimpi harus dievaluasi lagi apa tujuan awalnya, jangan sampai menimbulkan sesal di kemudian hari. Semangat!”

“Jawaban Kak Gladys di luar dugaan banget ternyata, but in the other side, entah kenapa saya ngerasa dada saya menghangat, ya? Pengalaman Kak Gladys, semoga bisa menjadi pelajaran buat semua orang di luar sana. Terimakasih Kak, udah berbagi sama kita.” Penyiar radio itu kemudian bersuara kembali, “Oke, kita lanjut ke inbox kedua. Halo kakak-kakak, saya mau curhat. Jadi saya punya orang yang saya suka selama bertahun-tahun, tapi saya kemudian tau kalau perasaan saya gak mungkin terbalas. Saya bingung, di satu sisi saya pengen dia bahagia, tapi di sisi lain, saya juga pengen bahagia.”

Hening setelahnya, baik di antara orang-orang di balik siaran radio kampus, maupun dengan kami bertiga.

“Gimana, nih? Siapa yang mau kasih saran, Kak Dimitri mungkin?” tanya si Penyiar.

Lama, sampai suara Kak Dimitri terdengar lirih.

“Kebetulan beberapa hari lalu, seseorang bilang sama saya, apa yang takdirnya bukan buat kita, ya relain aja… begitu katanya. Tapi saya percaya, orang-orang yang ditakdirkan buat hadir dalam hidup saya, sejauh apapun mereka pergi, mereka selalu punya jalan buat kembali. Mungkin, perasaan kamu gak terbalas karena kamu berhak dapat yang lebih baik. Siapa yang tau?”

Aku tersenyum pahit, kalimat Kak Dimitri kembali menyadarkanku betapa aku masih begitu menyayanginya.

Kak Dimitri mengesah. “Menurut pengalaman saya, melepaskan lebih baik. Bukan berarti menyerah, tapi kadangkala kita cuma mau lihat orang yang kita sayang bahagia. Dan kalau memang bahagianya bukan kita, mau bagaimana? Bukannya kalau memaksakan kebahagiaan kita sementara orang yang kita sayang gak bahagia, itu lebih buruk ketimbang melihat dia bahagia sama orang lain?”

Kak Dimitri menghela napas, lalu melanjutkan, “you must find someone that fit you, someone who admires you, someone who trust you and proud of you. Masing-masing dari kita berhak bahagia dengan jalannya sendiri, jangan dipaksa. Oke, sender?”

Dapat kurasakan pahit yang menggumpal di tenggorokan, seolah menggenapkan keterpurukanku. Mendapatinya yang terdengar begitu merelakan apa-apa yang telah terjadi di antara kami, aku ingin menangis.

Tawa Kak Dimitri dan tepuk tangan ringan dari sang Penyiar kemudian mengakhiri sesi curhat siang itu, tapi aku masih mematung di tempat.

“Gue baru tau dia punya sisi yang keren begitu,” celetuk Ardika.

“Semua tentang dia emang keren, dan lo nonjok dia seenak udel lo, Dika!” Aku mendesis.

“Gue jadi naksir Kak Dimitri ….” bisik Keana, yang langsung kupelototi. Namun bukan aku, melainkan Ardika yang lebih dulu memprotes.

Katanya, “Apa lo bilang? Gue juga bisa sekeren itu!”

“Bodo amat, gak dengar!”

“Shhttt!” Aku meletakkan telunjuk di bibir, menyuruh Ardika dan Keana diam karena suara Kak Dimitri mulai terdengar lagi.

“Lagu yang mau saya nyanyiin ini buat seseorang di luar sana. Mungkin dia gak dengar, gak apa-apa,” gumamnya.

“Oke, untuk mengakhiri siaran hari ini, ada hadiah spesial dari Presiden BEM kita. Sebelumnya, terimakasih buat Kak Gladys dan Kak Dimitri yang udah nemenin kita sejam ini, maaf apabila ada kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan ya, Kak. Jangan sungkan buat berbagi lagi di sini.”

“Sama-sama, Aggie. Senang bisa diundang radio kampus,” jawab Kak Gladys ramah.

Kemudian…

“Sampai ketemu lagi di siaran minggu depan, saya Aggie pamit undur diri.” Penyiar bernama Aggie itu menjeda sesaat sampai samar-samar suara musik mulai terdengar. “Dan ini hadiah spesial dari Kak Dimitri, ‘Almost is Never Enough’. Selamat mendengarkan!”

Tubuhku sentiasa membatu begitu denting piano memecah keheningan, lalu perlahan suara familiar seseorang yang hampir tiap malam menemaniku mulai bernyanyi. Aku terlalu larut, sampai kutemukan diriku terisak sembari menggenggam erat ponsel yang masih menyiarkan nyanyiannya.

Well we almost, we almost knew what love was But almost is never enough.

Aku menangis, untuk malam-malam ketika dia ada untukku, untuk perjalanan-perjalanan di dalam mobilnya, untuk hari-hari esok yang seharusnya kami miliki. Dan aku menangis untuk diriku sendiri, pada kebodohanku mencintainya, pada ketidakmampuanku bertahan di sisinya.

Ini semua sudah sulit untuk Kak Gladys dan Keenan, tak mungkin bagiku untuk menambah sakit hati mereka.

Tapi jika Kak Dimitri ahlinya berpura-pura, maka aku adalah orang pertama yang berdiri di belakangnya.

[HANA]

Kak Dimitri tengah berdiri di bawah pohon tabebuya di selasar kampus begitu aku sampai. Orang-orang masih berkerumun dan berbisik-bisik, memandang Kak Dimitri dengan penasaran, namun tak benar-benar cukup peduli untuk mendekat.

Aku berhenti tepat beberapa langkah di belakangnya, ia terlalu sibuk mengibaskan kemejanya yang agak kotor terkena rerumputan untuk menyadari kehadiranku. Melihatnya seperti ini, tiba-tiba aku merasa sesak, entah ke mana teman-teman gengnya itu. Dari belakang sini, punggung Kak Dimitri terlihat kesepian.

Akhirnya, kuberanikan diri untuk maju dan menarik tangannya menjauh dari sana.

Sesaat, aku merasa déjà vu. Apa yang kulakukan sekarang, persis seperti yang Kak Dimitri lakukan untukku di hari pertama kali kami bertemu. Kini, memori itu terasa begitu jauh, seperti kaset lama yang tak sengaja terputar.

“Kita mau ke mana?” tanyanya di sela-sela langkah kami. Aku diam, tak berkata-kata sampai berhenti di depan pintu ruang UKS. “Gue gak apa-apa,” katanya lagi, tersenyum geli menatapku dan ruang UKS bergantian.

“Gak apa-apa, apanya?” Kuamati goresan-goresan di wajahnya, ada lebam kemerahan di tulang pipinya yang beberapa saat lagi pasti berubah biru keunguan. “Jangan pura-pura mulu, gak mempan lagi, Kak,” dengusku, membuat Kak Dimitri bungkam setelahnya. Kutarik lagi tangannya, membawanya masuk dan duduk di salah satu ranjang putih itu, kemudian menyiapkan kotak P3K.

Setelah cukup lama saling berdiam diri, Kak Dimitri mendecak. “Pukulan temen lo boleh juga.”

Aku mendengus sembari mengusapkan kapas beralkohol ke pipinya. “Iyalah, dia kan anak tekwondo. Masih untung Kakak gak disepak sama dia.”

“Untung apanya? He punched me twice.

“Hah?”

“Pukulan pertama, itu buat sahabat gue, katanya. Terus yang kedua, yang itu buat Hana, gitu.”

Aku menggigit bibir, dihinggapi rasa bersalah. Sahabat yang Ardika maksud sudah pasti Keenan. Aku hanya tak menyangka, ia sampai berbuat sejauh ini, maksudku… di luar segalanya, Kak Dimitri adalah ketua BEM kampus, aku tidak ingin Ardika justru terkena masalah juga.

“Tapi Kakak emang pantas dipukul, by the way,” cetusku.

Kak Dimitri tertawa, tapi tawanya berubah jadi ringisan karena lebamnya tak sengaja kutekan. “Pelan-pelan dong, Nye. Lo kalau mau balas dendam ke gue gak gini caranya.”

“Dih, emangnya situ mainnya balas dendam?”

“Yaudah iya,” balasnya memelas. Kak Dimitri kemudian menutup mata selama aku mengobati luka-luka di wajahnya, membuatku jadi leluasa mengamati sosoknya sesukaku. Kutatap ia lekat-lekat, seakan mengabadikan semua tentangnya… tentang kita.

Aku beringsut mundur tiba-tiba ketika air mataku mulai bergerumul di pelupuk, mengingat apa yang seharusnya kami punya, dan menyadari apa yang akan kulakukan selanjutnya. Sadar kalau aku menjauh, Kak Dimitri membuka matanya, membuatku buru-buru berbalik agar ia tak bisa melihat wajahku.

“Udah selesai,” kataku, menaruh kembali obat-obatan pada tempatnya.

“Oke, thanks.”

Canggung.

Aku benci merasa canggung di dekatnya, padahal dulu sosok inilah yang paling bisa membuatku merasa nyaman. Aku benci bagaimana dunia memainkan semua dan mengubah hal-hal baik jadi buruk dengan sebegitu cepatnya. Bagian paling menyakitkan dari ini adalah, bahwa jauh di dalam, aku tak ingin membencinya, aku tahu kalau setelah semua yang terjadi, Kak Dimitri berhak mendapatkan kesempatan sekali lagi, tapi untuk itu saja aku bahkan tak mampu.

Aku… tak ingin melukai lebih banyak orang lagi.

“Kak, sebenarnya aku mau bilang sesuatu, tapi aku terlalu pengecut buat bilang langsung.” Aku merogoh ke dalam tas, kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat yang kutulis semalaman suntuk untuknya—untuk perpisahan ini.

Kedua alis Kak Dimitri bertaut. “Apa ini? Cek? Akta tanah?”

Serta merta aku tertawa, menyamarkan sedih yang pasti membayang di kedua mataku. Lihat, lihatlah bagaimana caranya berpura-pura, bagaimana mekanisme pertahanan dirinya selalu ingin membangun suasana yang menyenangkan ketika dirinya sendiri pun tahu ini adalah sebuah momen perpisahan.

Aku membuang napas, hampir menangis. “Baca aja, aku harap Kak Dimitri paham.”

Sorot matanya lembut, kemudian sembari menatapku, ia mengangguk perlahan. Kupandangi ia beberapa detik sebelum pergi, berbagi senyum, dan mengucapkan selamat tinggal.

Benar.

Selamat tinggal, Kak Dimitri. Dengan begini, aku harap kita punya bahagia versi kita sendiri.

[KEENAN]

Sore ini, gue kedatangan tamu gak terduga. Demi Tuhan, gue gak pernah membayangkan dia bakal mengunjungi gue seperti ini, bahkan kalau sesekali gue berandai-andai apakah gue bisa bertemu Rinjani lagi, bukan di sini… bukan di kamar rawat rumah sakit.

Ini pertama kalinya gue melihat dia semenjak kelulusan sekolah─hari itu pun, gue sama sekali gak berkesempatan buat mengucapkan selamat atas kelulusan kita berdua; Rinjani benar-benar membuang gue dan untuk itu dia telah menunjukkannya dengan cukup jelas.

Maka, kedatangannya sore ini mendorong gue buat bertanya, “Ada apa?”

Ada urusan apa? Kenapa tiba-tiba berkunjung?

Setelah menaruh sekeranjang buah-buahan di atas meja, Rinjani mengedarkan pandangannya ke sekililing kamar tanpa menggubris pertanyaan gue. Baru ketika mata kita bertemu karena gue ikut menilik sosoknya, Rinjani akhirnya bergerak menarik kursi dan duduk di sisi gue dengan tenang.

“Kamu kelihatan kacau, Keenan.” Gue memicingkan mata, tapi Rinjani kelihatan jujur dan gak ada nada meledek di kalimatnya. “Kacau banget, kayak porselen hidup,” dia melanjutkan.

Gue terkekeh pelan, menghargai kejujurannya. “Iya, Jani.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Iya, kenapa jadi begini? Bukannya ada Hana?”

“Maksud kamu?”

Dia mengangguk ragu. “Aku kira, selama ada Hana, kamu bakal selalu baik-baik aja.” Jawaban Rinjani membuat kerutan di kening gue semakin dalam. “Sebenarnya, aku datang dari dua jam yang lalu. Tapi waktu mau masuk, aku lihat kamu sama Tante Erika lagi ngobrol, jadi aku nunggu di kafetaria rumah sakit. Keenan, jangan marah, ya? Aku sempat dengar obrolan kalian berdua. Orangtua kamu cerai?”

Gue menghembuskan napas sembari menggaruk kening, bingung. Maksudnya, kalau dia memang nguping kenapa harus ngasih tahu gue? Gue kan mau marah jadi gak enak.

Mengangkat pandangan dan menemukan sorot mata khas Rinjani, gue tiba-tiba teringat kenangan yang pernah kita punya. Dia memang tipikal orang yang selalu berkata jujur, apa yang ada di pikirannya nyaris selalu keluar tanpa disaring. Bahkan dulu sebelum gue mampu mengakui perasaan gue, dia yang lebih dulu berceloteh tentang susahnya membangun komitmen─sederhananya, dia menolak gue sebelum gue tembak.

Tapi gue akui, walau tanpa status yang berarti, kehadirannya di hidup gue cukup membekas.

“Orangtua kamu cerai?” ulangnya karena gue gak kunjung bersuara.

“Oh? Kamu simpulin aja sendiri. Katanya kamu dengar?”

Dia memberengut. “Aku gak dengar sampai abis. Aku cuma dengar sampai ‘dua orang yang menjalin hubungan itu kayak lagi berkendara’. Kamu sendiri, setuju gak sama filosofi itu?”

Gue menggeser duduk dan menegakkan tubuh sebelum menatap Rinjani lurus-lurus. Dari awal kedatangannya, udah berapa kali dia meloncat topik dan membalas pertanyaan gue dengan pertanyaan yang baru? Rinjani perempuan yang pintar, dan gue tahu ada sesuatu yang ingin dia sampaikan─yang mungkin juga jadi alasannya datang.

Dan apapun itu, gue rasa bukan sesuatu yang bagus.

“Ada apa, Jani? Sebenarnya kamu mau bilang apa?” Gue melenguh tak sabar.

“Setuju gak sama filosofi itu?”

“Aku jawab kalau kamu jawab pertanyaan aku dulu. Kamu, datang ke sini mau apa?”

“Mau nepatin janji sama Dika,” balasnya cepat, kemudian membuang muka, menghindari tatapan gue.

“Janji?”

“Dika bilang aku harus nemuin kamu, setidaknya aku harus minta maaf selagi aku bisa.”

Mendengar itu, rasanya seolah semua orang memang udah bersiap kalau-kalau gue mati. Lucu, ya? Gue rasa cuma gue yang belum bersiap untuk itu. Bagian yang lebih lucu adalah ternyata Rinjani mendatangi gue karena merasa berutang kata maaf, bodohnya gue sempat berharap ada yang lebih.

“Tapi aku gak akan minta maaf, Keenan. Karena aku tau kamu gak mau dengar itu,” Rinjani melanjutkan lagi, kali ini lebih pelan. Gue bersyukur dia sadar, karena kalau dia meminta maaf, rasanya seperti dia juga menyesali apa yang udah terjadi—termasuk hubungan ini. Sementara bagi gue, gak ada yang perlu disesali, hari-hari yang gue miliki sama Rinjani juga cukup berarti.

Dengan gugup, gue lirik dia lewat sudut mata. Pandangannya mengawang-ngawang, sementara bibirnya mengukir senyum tipis seakan benaknya tengah memutar kaset lama—nostalgia.

“Tentang dua orang yang berkendara itu… menurut kamu, kalau dulu aku gak ninggalin kamu, apa kita bisa berkendara bersama?”

Kita saling tatap, hening.

“Entah,” jawab gue, mengedikkan bahu. Di titik ini, akan sangat menyenangkan mungkin seandainya gue memiliki Rinjani. Jadi gue gak harus merasa kehilangan Hana, jadi gue gak harus terlalu menjaga Hana. Ya, seandainya saja.

“Menurut aku, bisa.”

Bersama Rinjani, kadang-kadang segala hal yang semestinya samar seringkali berubah jelas karena dia selalu menunjukkannya dengan jelas pula. Kalau suka, dia akan bilang suka, kalau tidak, ya dia akan bilang tidak. Dulu, gue kesulitan menerima perangainya itu karena setiap kali gue berusaha melakukan sesuatu buat menarik perhatiannya, Rinjani langsung bereaksi tanpa berpikir panjang. Kadang, gue merasa dicintai. Kadang justru sebaliknya.

“Tapi kamu kan gak suka berkendara.”

Dia menghela napas, lalu senyumnya berubah sedih. “Perempuan mana yang suka berkendara sama laki-laki yang hatinya mendamba penumpang lain?”

Napas gue tercekat, terlebih sewaktu Rinjani menatap gue dengan senyum sedihnya itu.

“Aku gak bisa memulai perjalanan sama seseorang yang maunya ada di kendaraan yang lain, itu sebabnya kendaraan kita berhenti, Ken. Kendaraan kita udah lama terhenti, bahkan jauh sebelum jalanan berubah terjal dan aku yang pergi, kendaraan kita emang gak pernah ke mana-mana.”

Untuk sesaat, gue ingin mendebat dan menyalahkannya yang terlalu abu-abu dalam menanggapi setiap perlakuan spesial gue, tapi sebelum mampu melakukan itu gue tiba-tiba teringat bagaimana lengkung senyumnya kerap surut tiap kali menemukan gue sedang bersama Hana, bagaimana ia selalu mencari alasan untuk menolak ajakan pulang bareng gue karena tahu gue terbiasa pulang dengan Hana, atau bagaimana obrolan ringan sepulang nonton bioskop yang tadinya menyenangkan berubah dingin karena gue harus membagi perhatian untuk membalas pesan-pesan Hana.

Berapa kali gue mengabaikan sorot mata Rinjani yang kecewa, dan berpikir dialah yang mengabaikan gue? Berapa kali gue menyalahartikan reaksinya, dan tidak memahami perasaannya?

Mengingat itu, menyadarkan gue betapa buruknya gue sebagai lelaki.

“Dulu, waktu kamu pergi, aku sempat mikir kamu orang yang jahat.” Udah saatnya gue mengakui itu. “Aku pikir, kamu terlalu pengecut buat bertahan sama orang sakit kayak aku. Sekarang aku tau kalau ternyata aku emang gak cukup baik buat kamu, ya? Atau justru aku si orang jahat itu.”

Rinjani memandang gue dengan sorot matanya yang penuh kata-kata, tapi akhirnya dia mengangguk juga, mengakui kalimat gue sebelumnya.

“Iya, kamu jahat. Kalau orang lihat bagaimana cara kamu menyayangi Hana, mungkin kamu bakal kelihatan kayak cowok paling sempurna, tokoh fiksi, too good to be true. Tapi, kalau dilihat dari posisi aku, kamu gak lebih dari sekadar cowok brengsek pada umumnya.”

Dia masih menatap gue ketika air matanya luruh dan jatuh di atas tangan gue.

“Keenan, kalau mau brengsek, brengsek aja. Yang bikin aku benci sama kamu itu karena kamu brengsek tapi masih berusaha gak bikin aku kecewa, itu membingungkan. Aku kayak punya raga kamu tapi nggak sama hati kamu,” jelasnya getir, membuat gue merasa bersalah seketika.

“Makanya aku milih buat pergi sendiri, karena kalau bukan aku yang pergi gak mungkin kamu. Kamu gak mungkin ninggalin aku walaupun kamu maunya begitu.”

Itu adalah sebuah pengakuan sekaligus penjelasan, sesuatu yang meski gak pernah gue cari tapi tetap gue pertanyakan setiap kali gue mengingat kepergian Rinjani yang tiba-tiba. Gue selalu berpikir apa yang salah, dan berakhir menjadikan penyakit gue sebagai satu-satunya alasan yang masuk akal kenapa Rinjani memilih hengkang dari hidup gue, padahal jawabannya ternyata sesederhana itu.

Jawabannya ternyata ada di gue.

“Maaf, Jani,” gue bergumam, bahkan buat natap matanya aja gue gak lagi punya keberanian.

“Jangan minta maaf, udah kejadian. Pasti susah, kan, ngejaga perasaan kamu buat aku sembari ngejaga prioritas kamu juga?” Dia mengulurkan sebelah tangan untuk menangkup pipi gue, usapannya pelan, terlalu hati-hati—seolah sedang menyentuh benda yang rapuh.

Gue mengabaikan sesak di dada, mengamati sosoknya sedemikian rupa dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata ketika mengingat kembali betapa dalam luka yang gue buat di hidupnya.

“Kamu pintar banget ngeduluin kebahagiaan orang lain tapi kebahagiaan kamu sendiri gak kamu pikirin. Jangan begitu, Ken. Kadang-kadang, kita juga boleh egois, kok.”

Gue menarik napas dalam kemudian memalingkan wajah, menyingkirkan tangan Rinjani dari pipi gue, membuatnya sadar ada batas-batas yang gak seharusnya kita lakukan lagi.

“Buat hal-hal yang menurut kamu penting, harusnya kamu bisa sedikit lebih egois. Karena kalau gak begitu, kamu bakal terus kehilangan.” Seulas senyum yang baru melintas di wajahnya, jenis senyum yang sama dengan senyum yang pertama kali gue lihat di perpustakaan sekolah beberapa tahun lalu. “Dan ngomong-ngomong soal maaf, aku gak akan minta maaf karena ninggalin kamu tiba-tiba, itu udah jelas kan alasannya? Aku mau minta maaf, karena aku kamu telat sadar kalau ternyata bahagianya kamu adalah Hana.”

“Maaf, Jani. Aku harusnya bisa lebih baik sama kamu. Maaf.”

Sekali lagi, matanya yang masih merah karena tangis itu menilik gue, seolah mengamati perubahan apa aja yang terjadi. Ketika bercermin, gue kadang membenci bayangan gue sendiri karena sosok yang terpantul di sana seperti cangkang tanpa jiwa. Dan kira-kira begitulah sorot yang terpancar di matanya—perpaduan benci dan iba.

Please be happy, Keenan. Be happy,” ujarnya dengar suara bergetar. Gue mengangguk mengiyakan, seperti yang selalu gue lakukan pada orang-orang yang mengharapkan gue untuk terus berjuang dan gak menyerah, gue mengangguk tanpa benar-benar memaknainya.

Setelah itu, gak ada lagi obrolan yang berarti. Rinjani bangkit berdiri sepuluh menit kemudian, dengan canggung mengulurkan tangan perpisahan pada gue, dan kali ini, gue menyambut uluran tangan itu dengan senyuman.

Rinjani, please go and find someone who can love and treat you better than me, someone who makes you a priority in his life—and I hope it won’t end like us. Rinjani, please be happier than me.

[KEENAN]

Jalanan di sepanjang trotoar yang dihiasi pohon besar dan akar gantung menuju rumah Hana udah sepi menjelang tengah malam begini. Gue mengacak rambut dengan frustasi, Hana gak ada di rumahnya, Hana gak ada di jembatan penyebrangan, Hana gak ada di mana pun tempat yang biasa dia kunjungi.

Gue merasa gagal, gue gagal buat selalu ada di belakangnya, gue gagal menjaga dia.

Gue memilih buat menyusuri jalanan itu sekali lagi sembari memikirkan kemungkinan-kemungkinan di mana Hana berada saat ini. Dan di ujung keputusasaan, sosok itu berjalan terseok-seok jauh di depan gue, kedua tangannya menggenggam sepatu hak tinggi yang sudah dia lepas dan berjalan tanpa alas kaki, sementara itu di bawah lampu jalanan yang temaram, gue bahkan bisa lihat bagaimana air matanya berjatuhan tanpa ampun.

Tangan gue mengepal, ingin rasanya meninju apapun yang ada di sekitar gue, tapi bahkan untuk itu gue udah gak punya tenaga. Seumur-umur, ketika melihat Hana menangis di bawah meja makan sembari berusaha menutup kedua telinga karena pertengkaran orangtuanya, itulah momen paling menyakitkan yang kemudian gue sadari bahwa cinta; bisa menghancurkan manusia sebegitu dalamnya. Di detik yang sama, gue berjanji pada diri gue untuk selalu melindungi dia.

Dan hari ini, tubuh Hana yang luruh di atas trotoar kotor itu, menjadi saksi kegagalan gue terhadap janji gue sendiri.

“Hana!”

Panggilan gue membuat tubuhnya membatu. Dia mengangkat pandangan, lalu gue berlari menghampiri dia yang terduduk memeluk lutut.

“Keenan?”

“Kenapa lo begini?” Tapi gue gak bisa mengontrol emosi, mendapati raut wajahnya yang penuh air mata, gue kehilangan akal sehat gue. “Kenapa? Siapa yang nyakitin lo?” bentak gue, memecah hening yang mengukung. Hana menunduk, enggan membalas tatapan gue. Dia selalu aja begini, dia selalu aja diam ketika gue butuh penjelasan, dia selalu aja bikin gue seolah-olah melakukan kejahatan karena peduli sama dia.

Gue harusnya marah. Tapi bodohnya, gue bahkan gak bisa.

“Kak Dimitri, kan?” tanya gue getir, cuma dengan satu nama itu, Hana akhirnya menengadah, menatap gue yang berdiri di hadapannya. “Dari awal gue gak percaya sama dia!” Mata Hana berkaca-kaca lagi, gue gak sanggup lihatnya, maka gue buru-buru berpaling kemudian melangkah melewati dia.

“Keenan! Ken, nggak… jangan!” Hana menarik lengan baju gue sembari terisak, tangannya yang menahan jaket gue terasa bergetar, tapi gue enggan berbalik. “Jangan apa-apain Kak Dimitri,” ucapnya pelan.

Gue berhenti melangkah, menatap langit, mengatur hela napas yang memburu.

Demi Tuhan, Hana, lo bahkan menghentikan langkah gue padahal lo gak tahu gue mau ke mana cuma karena lo khawatir gue bakal lukain cowok kesayangan lo itu?

Gue merasakan sakit di tenggorokan, sementara pandangan gue sendiri mulai memburam. Bisakah gue lebih patah lagi dari ini?

“Kenapa?” tanya gue kemudian. “Kenapa lo masih peduli sama dia? Setelah lo hancur begini kenapa lo masih peduli sama dia?” Suara gue keluar dengan pelan, kehilangan cara menyembunyikan nada getir di dalamnya. Pegangan Hana di lengan gue terlepas begitu aja, dan gue masih enggan berbalik. Karena kalau gue lihat sepasang mata itu, gue pasti kalah detik ini juga. Gue kembali melanjutkan, “Apa lo gak peduli sama diri lo sendiri, Na? Apa lo… gak peduli sama gue?”

Apa sesekali, lo pernah berpikir bagaimana rasanya jadi gue?

“Gue yang sakit hati kenapa lo yang merasa gue gak peduli sama lo?”

“Karena gue ikut sakit hati lihat lo sakit, Na.”

“Dan kenapa lo harus ikut sakit?”

“Karena gue sayang sama lo!” Gue berbalik, meletakkan kedua tangan di bahunya yang bergetar. “Karena gue yang selalu lindungin lo, gue yang selalu ada buat lo, gue yang jaga lo dari belakang!” Sewaktu akhirnya mata gue dan matanya bertatapan, gue harus menelan rasa sakit itu mentah-mentah karena gue gak lihat diri gue sendiri di mata Hana. Mata itu begitu kosong, dia natap gue gak percaya, seolah apa yang gue sampaikan gak pernah masuk ke telinganya.

Gue membiarkan setetes air mata jatuh, gue mau Hana tahu kalau gue ada di sini; sejak dulu, gue selalu ada di sini.

“Selama sama lo gue merasa cukup, sementara lo selalu melihat keluar. Lo selalu jadi dunia gue, sementara lo mencari dunia yang lain. Gue tahan semuanya karena apa? Karena lo bahagia.”

“Ken, jangan gini….” Hana terisak, tapi gue gak peduli lagi.

“Sekarang lo disakitin orang lain, apa gue masih gak punya hak buat marah? Ketika gue yang terus menerus berusaha bikin lo bahagia?”

“Cukup!”

“Lihat lo bahagia sama orang lain aja udah nyakitin gue, Na. Apalagi lihat lo disakitin orang lain.”

Sepersekian detik kemudian, Hana menghamburkan dirinya ke pelukan gue. Kedua tangannya erat melingkar di pinggang─dapat gue rasakan seluruh tubuhnya berguncang, isakannya menggila seiring dengan tangannya yang terus mengerat di balik badan gue, seolah kalau pelukan ini terlepas, gue akan hilang.

Dia bergumam pelan, “Please, jangan ngomong apa-apa lagi. Gue udah kehilangan banyak orang, gue gak mau kehilangan lo juga. Tolong jangan bikin gue makin benci sama diri gue sendiri. Tolong….”

Gue menggigit bibir lebih kencang, menahan air mata di pelupuk. Dalam pelukan itu, Hana masih terisak. Sementara gue mematung, kedua tangan gue terlalu kebas buat sekadar balik memeluknya. Gue kecewa… gue kecewa karena di titik ini, gue tetap aja kalah.

Mencintai lo adalah sebuah kekalahan buat gue, Hana. Sebab mau seindah apapun cara gue mencintai lo, gue tetap bukan pemenangnya.

Harusnya gue sadar itu, jauh, jauh lebih dulu sebelum semua ini terjadi.

“Lo egois,” bisik gue, parau. Gue menutup mata, terlalu takut menghadapi tatapan Hana, tapi kemudian Hana diam sembari melepas pelukannya.

“Gue bakal anggap lo gak pernah bilang apa-apa, gue bakal lupain malam ini,” balasnya, mengusap jejak-jejak air mata yang telah mengering.

Gue mengernyit. “Segitu gak berartinya kah gue buat lo?”

“Karena lo berarti buat gue makanya gue gak mau kita berubah!” Klise. “Kalau kita pacaran, setahun dua tahun kita putus, terus apa? Kita gak akan pernah sama lagi! Itu yang lo mau?”

Yang Hana gak tahu adalah, setiap hampir memejamkan mata, gue ketakutan setengah mati karena gue gak punya cukup kepercayaan apakah gue akan membuka mata lagi keesokan harinya. Yang Hana gak tahu adalah, bahwa setiap hari, setiap waktu yang gue lewati, gue takut masa-masa itu gak akan datang lagi.

“Gue bahkan belum tentu masih ada setahun atau dua tahun ke depan, Na.”

Kalimat gue keluar sesederhana itu, tapi rasanya seolah dunia ikut runtuh bersama sebagian kesadaran gue yang tersisa. Hana menatap gue nanar dengan genangan air di pelupuk matanya, keheningan itu begitu panjang sampai gue bisa merasakan betapa gemetarnya telapak tangan gue sendiri karena ketakutan. Selama beberapa menit, kita berdua mematung saling pandang dengan sekelumit pikiran di kepala, sama-sama kehilangan selera buat bersuara lagi.

Sampai di satu titik, Hana membuang napas panjang. Katanya, “Lo kabur kan dari rumah sakit? Mending lo balik sana, gue gak bisa antar lo.” Dia berbalik pergi. “Gue gak mau dengar kabar kematian lo besok pagi, jadi jaga nyawa lo baik-baik. Masih banyak yang mau gue omongin.” Setelah itu, Hana melangkah pulang, meninggalkan gue yang memandang punggungnya sampai mengecil di ujung jalan.

Sayangnya, meski dari jauh, meski gelap sekalipun; gue tahu di tiap langkahnya itu, air matanya masih berjatuhan.


Perjalanan pulang menuju rumah sakit diisi dengan kesunyian, gak ada satu pun dari gue dan Ardika yang berniat buka suara atas kejadian barusan. Bunyi motornya yang gak ramah lingkungan memecah ketenangan kota tengah malam. Gue mengangkat wajah, mengamati langit, memperhatikan jembatan penyeberangan kesukaan Hana, dan berakhir menghembuskan napas berat.

Bodoh. Bodohnya gue menghancurkan persahabatan bertahun-tahun ini hanya dalam hitungan menit karena keegoisan gue sendiri.

Sekarang, hilangnya Hana dari orbit gue nampak begitu di depan mata.

Ardika memarkirkan motornya asal di pekarangan rumah sakit yang sepi, setelah meletakkan helm yang gue pakai di spion motornya, gue berjalan gontai menuju kamar rawat gue di lantai lima, membiarkan Ardika membuntuti gue sampai depan pintu kamar.

Keana bangkit dari duduknya begitu gue masuk, ada sorot kesal sekaligus lega yang membayang di kedua matanya, tapi gue enggan bicara. Bahkan ketika Ardika menyeret Keana buat keluar, bahkan ketika pintu akhirnya di tutup dan mendapati diri gue sama kosongnya dengan ruangan ini, gue tetap gak bisa berkata-kata.

Gue bersandar di sisi pintu, menyesali apa-apa yang udah terjadi, membayangkan apa-apa yang akan terjadi─setelah malam ini.

Imaji kesedihan Hana melintas lagi di benak, bagaimana air matanya kemudian berjatuhan karena gue. Gue, yang seharusnya memeluk dia di titik-titik terendahnya, yang seharusnya memastikan dia baik-baik aja, kenapa gue berakhir jadi alasannya menangis?

“Hana emang bego.” Umpatan itu gue kenali sebagai suara Keana. Gue masih dalam lamunan ketika sekali lagi, suara Keana kembali terdengar dari balik pintu yang tertutup. “Hana emang tolol banget, gak ngerti lagi gue,” ucapnya pelan seperti menahan gusar.

Gue melirik sekilas lewat sudut mata, melalui kaca kecil di tengah pintu itu, gue menemukan puncak kepala Keana tengah bersandar di sana.

“Kenapa lo tiba-tiba ngomong begitu?” tanya gue.

Jawabannya datang beberapa detik kemudian. “Emang apa kata yang lebih tepat buat menggambarkan situasi ini? Hana nyia-nyiain lo, if it’s not fools, what should I call it then?” Pilu yang tiba-tiba terasa dalam kalimatnya, membuat gue lantas menyadari sesuatu. Tapi sebelum gue mampu membalas, Keana lebih dulu bersuara, “Udahan yuk? Gue bosan cemburu. Gue bosan, bosan banget, Ken. Selalu jadi nomor ke sekian, padahal nomor satu lo gak pernah mencintai lo seperti gue.”

Jangan.

Jangan lagi.

Gue mengusap wajah dengan kasar; semesta terlalu bercanda. “K, mau gue kasih tau satu hal lucu tentang dunia?”

Hela napasnya terdengar letih di belakang sana. “Tell me,” balasnya.

Gue menarik sudut bibir, senyum pertama gue malam ini. “Kadang, dalam hidup, kita bisa benar-benar mencintai seseorang begitu dalam. Tapi untuk suatu alasan, orang itu gak bisa mencintai kita balik.”

Sudut-sudut bibir gue tertarik sekali lagi, tapi kali ini bukan senyum, gue cuma berusaha nahan rasa sakit di ujung tenggorokan yang tercekat. “Kayak gue, kayak lo, kayak Dika....” gue melanjutkan.

Senyap setelahnya, Keana mematut-matutkan kepalanya di pintu, membuat gue yang berdiri tepat di belakangnya jadi ikut merasakan gerakan randomnya itu. Pasti, ada begitu banyak hal yang memenuhi kepalanya saat ini, karena itu juga yang sedang gue alami.

So?”

“Lo berarti buat gue, apa yang kita punya juga sama berartinya buat gue. Jadi jangan menempatkan gue pada pilihan di antara itu, karena lo dan persahabatan kita sama berharganya.” Gue berusaha menjelaskan tanpa terdengar hipokrit, karena jauh di dalam, gue tahu gue baru aja melakukan hal yang sama seperti yang Hana lakukan.

Mengatakan itu pada Keana, ternyata hanya menyadarkan gue bahwa manusia itu makhluk paling munafik yang pernah ada. Tapi di titik ini, gue gak tahu lagi pilihan apa yang harus gue ambil agar segalanya tetap baik-baik aja.

Gue cuma gak mau segalanya berjalan kian buruk.

“Dari kita kecil, lo selalu lebih berani dari gue. Lo kayak tameng yang melindungi teman-teman lo, K. Dan gue minta maaf karena seharusnya gue juga bisa lakuin hal yang sama buat lo,” bisik gue, Keana gak lagi mematutkan kepalanya di pintu, samar gue dengar dia berusaha meredam tangis. “Sorry for not being able to give back as much as you did. I know how it feels and I’m really sorry… sorry, because we can’t be us.”

Gue harap, gue melakukannya dengan baik. Gue harap, gue gak merusak kepercayaan Keana terhadap cinta, gue harap gue gak menorehkan luka yang berarti, sebab gue paham bagaimana sakitnya.

Di pintu itu, gue kembali menyandarkan tubuh, meraup oksigen sebanyak yang gue mampu karena sesak ini masih terus bergerumul di dada. Seandainya Hana juga bisa melakukannya dengan lebih baik, seandainya dia bisa sedikit aja mengerti….

It’s okay, Ken. Gue juga gak pernah sekalipun berharap kita jadi lebih dari sekadar kita yang sekarang.”

Dan seandainya gue bisa selapang itu….

Things will get better though, K. We just have to hang on a little longer.”

“Gue rasa harusnya gue yang bilang begitu.” Dia terkekeh. “Like you said, things will get better though, lo juga harus bertahan. Ah, lo emang paling bisa nenangin orang lain padahal lo yang jauh lebih butuh ditenangin, don’t push yourself too much, silly you!

Gerutuannya bikin gue mau gak mau jadi ikut terkekeh pelan, walau gue tahu Keana gak bisa lihat gue. “Istirahat sana, sorry gue tengah malam jadi emosional gini. Gue pulang, ya? Ardika bisa ngamuk kalau gue gak turun juga.”

Tanpa menunggu jawaban dari gue, Keana udah melangkah pergi sewaktu gue berbalik dan menatap sosoknya lewat kaca pintu. Dia mungkin kelihatan baik-baik aja, tapi jelas gak ada patah hati yang baik-baik aja.

Patah hati, mau bagaimana pun ceritanya, gak mungkin berakhir baik-baik aja.

Semalaman, gue menekuk lutut di balik pintu, bersama kekosongan dan rasa bersalah yang terasa kian menggerogoti diri.

[HANA]

Dugaanku benar. Ketika membuka pintu toilet, aku tidak terkejut mendapati Kak Gladys berdiri menghadap cermin besar dengan kedua tangannya bertumpu di westafel. Aku sempat ragu untuk melangkah, apalagi saat menyadari bahunya berguncang begitu keras, sampai aku bisa mendengar isakannya yang pilu.

Tapi kakiku tetap bergerak, kedua tanganku ingin merengkuhnya─seperti dulu, dan tetap seperti dulu, kerapuhannya selalu saja seolah memintaku untuk mendekat.

Meski pada akhirnya, ia juga selalu saja keluar dengan penolakan.

“Sejak kapan?” tanyanya, menoleh dan menatapku dengan matanya yang berlinang. “Sejak kapan lo pacaran sama Dimitri?”

Aku menelan ludah yang terasa getir. Kejadian ini, rasanya seperti deja vu, seperti kembali ke masa lalu. Benakku seakan dibawa berlari ke malam sewaktu Papa mengajakku dan Bunda tinggal di rumah mereka pertama kali─malam setelah pesta pernikahan. Kak Gladys juga menangis di dalam kamar mandi, menceracau tentang ruang kerja mendiang ibunya yang di renovasi menjadi kamarku. Rasanya, melihat Kak Gladys detik ini, sama seperti malam itu.

“Ci…”

Maaf, maaf karena gue bahkan gak punya cukup keberanian buat meminta maaf.

“Gue tanya lo sejak kapan pacaran sama dia!”

Aku menggeleng pelan, menahan air mataku sendiri. “Gue gak tau, dia tiba-tiba bilang begitu di depan lo.”

Kak Gladys menggigit bibir bawahnya─membentuk senyum, tapi tangisnya justru semakin kencang. “Dia udah rencanain ini semua dengan baik ternyata.”

“Maksudnya?”

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Kak Gladys bergerak menutupi wajah dengan kedua tangannya. Di sudut itu, ia nampak begitu rapuh, luka-lukanya terlihat jelas, tak lagi berusaha ia sembunyikan di balik topeng dingin penuh keangkuhan yang selalu dibanggakannya.

“Lo sama Bunda lo… benar-benar mirip, ya?”

Aku menengadahkan wajah, memandang langit-langit toilet sampai lampunya memburam di pandangan.

“Bunda lo ngerebut Papa dari Mama, sekarang lo ngerebut Dimitri dari gue. Sama, Hana. Persis.”

Dadaku mencelus mendengar rentetan kalimat menyakitkan itu. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya berjatuhan tanpa kendali. Aku hanya… aku, tidak bisa menampik semuanya. Fakta bahwa Bunda merebut Papa itu memang benar adanya dan itulah alasan kenapa sampai detik ini aku tidak bisa berdamai dengannya bahkan dengan diriku sendiri; karena jauh di dalam, aku merasa bersalah atas semua sakit hati yang Kak Gladys derita.

Dan sekarang… aku merebut siapa, katanya?

“Kak Dimitri?” tanyaku tak yakin─atau lebih tepatnya, aku tidak mau yakin. Aku tidak mau mempercayai apapun lagi, aku tidak mau menahan rasa bersalah untuk apapun lagi.

“Iya. Dimitri, mantan gue!” Kak Gladys kemudian buru-buru menggeleng. “Kita bahkan belum putus, gak pernah ada kata putus di antara gue sama dia karena cerita kita emang belum selesai. Tapi lo, lo siapa? Siapa lo berani-beraninya masuk di hubungan gue sama dia?!”

“Gue─” Kalimatku berhenti di ujung tenggorokan. Sadar kalau sejak awal, akulah yang memulai ini semua, akulah orang yang lebih dulu mengusik hidup Kak Dimitri. Aku menutup mata, merasakan penyesalan dan rasa bersalah lagi-lagi mendekapku erat. Sesakit itu.

Kak Gladys kemudian membasuh tangannya, menarik napas dalam-dalam sembari menatap cermin. Tatapannya kosong, namun sorot dingin dan angkuh itu telah kembali lagi, membayang di kedua mata tajamnya. “Gue gak peduli sama kalian. Kalian emang cocok bersama, dua orang yang udah nyakitin gue,” ucapnya datar. Ia menyeka sisa-sisa air mata di wajahnya sebelum berbalik menghadapku. “Gue pasti kelihatan menyedihkan banget di mata lo, lupain itu. Gue emang sakit hati tapi setidaknya gue gak jadi orang yang sakit sendirian di cerita ini.”

“Gue minta maaf.”

Kak Gladys tak langsung menjawab, ia berbisik tepat di sisiku. “Gak semudah itu. Kesalahan bunda lo, kesalahan lo, akan gue ingat seumur hidup gue.” Matanya berkaca-kaca sewaktu mata kami bertemu. “Mungkin nanti, mungkin nanti lo akan paham kemarahan gue ketika dunia lo hancur kayak dunia gue sekarang.”

…. Haruskah? Tidakkah ia mengerti bahwa duniaku juga sudah hancur sejak dulu dan aku sedang tertatih membangun yang sekarang dengan puing-puing yang tersisa?

Kak Gladys berderap pergi, meninggalkanku yang masih terpaku di posisi dengan kalimatnya yang terus menerus bergaung di kepala. Tapi sebelum benar-benar keluar dari toilet, Kak Gladys berbisik lagi, dalam, penuh perasaan.

Katanya, “Hati-hati sama Dimitri. Lo baru tau kan kalau dia bisa segila ini?”


Handel pintu itu telah lama dalam genggamanku, namun tak kunjung kudorong karena semesta sepertinya ingin membuatku jauh lebih runtuh lagi hari ini. Aku baru saja sampai di ruangan terpisah tempat awal Kak Dimitri mengenalkanku pada teman-temannya ketika obrolan dari dalam menghentikan niatku untuk menuntut penjelasan, dan dengan caranya sendiri, penjelasan yang ingin kuketahui itu terbongkar bahkan sebelum aku pinta.

“Lo lihat gak waktu Gladys pergi sambil nangis?” Itu suara Kak Johnny. “Sedih gue lihatnya cuy, pengen meluk.”

Gelak tawa mereka berhamburan setelahnya, dan aku tidak mengerti bagian mana dari ini semua yang bisa ditertawakan.

“Berarti jadi dong ditraktir di Sky Lounge? Kan, udah jadian sama Hana.”

“Gue gak pernah janji mau neraktir lo.”

Aku tidak tahu apa yang membuatku kembali ingin menangis detik itu, tapi sesak sekali mendengar suara Kak Dimitri yang baik-baik saja─maksudku, setelah menghancurkan Kak Gladys, tidakkah ia merasa bersalah? Aku seperti tak lagi mengenal orang yang beberapa menit lalu begitu kusukai, seolah ia tidak teraba, atau mungkin aku memang tidak pernah benar-benar merabanya.

“Tapi kalau diingat-ingat, gue menang taruhan gak sih? Jo, lepas baju lo, bangke! Pulang dari sini, puterin Bundaran HI.”

“Alah serius dodol?”

“Dih. Serius gue.”

Tawa mereka melambung lagi, sementara aku menyandarkan punggung di pintu, bingung harus bagaimana, lelah dengan keadaan.

Lalu, suara Kak Dimitri terdengar serak─dan berat. “Gue puas hari ini. Gue puas lihat luka di mata Gladys. Kayak….”

“Kayak apa?”

Ia terkekeh pelan. “Kayak, gue ngembaliin luka yang udah dia kasih ke gue. Kayak gitu rasanya.”

Aku menggigit bibir kuat-kuat, tanganku mengepal di sisi-sisi tubuh. Tenggorokanku tercekat, ingin teriak dan membungkam di saat bersamaan. Kak Gladys, sosok yang ingin kulindungi meski aku tak mampu, bagaimana mungkin orang yang kukagumi justru bersenang-senang di atas penderitaannya?

“Tapi kenapa lo kelihatan gak bahagia, Dim?”

“Maksud lo? Gue bahagia.”

Suara yang setenang telaga kemudian memasuki obrolan itu, kalimatnya bermakna kontradiktif dengan kalimat-kalimat yang sebelumnya. “Gladys gak sepenuhnya salah, ketika dia bilang lo lagi nyakitin diri lo sendiri, gue rasa itu─”

“Gue bahagia, Tio!” sentak Kak Dimitri, tubuhku menegang di balik pintu. “Apa maksud lo bilang begitu? Kalau gue selama ini pura-pura? Kalau yang gue lalui sama Hana cuma pura-pura?”

“Menurut lo sendiri gimana?”

“Jangan bercanda! Gue bahagia menang taruhan, gue bahagia dapatin Hana dan gue puas udah berhasil balas dendam ke Gladys hari ini, itu jawaban gue!”

Begitukah?

Napasku memburu begitu mendorong pintu ruangan dengan tenaga yang tersisa, Kak Dimitri menoleh padaku dengan raut yang tak terbaca. Kupandangi berbotol-botol minuman beralkohol yang memenuhi meja, kemudian pandanganku jatuh menatap satu per satu manusia di sana, sebelum berhenti pada sosok yang kini tengah berdiri sembari berusaha meraih lenganku.

“Onye? Lo dari kapan─”

“Apa? Kaget?” Kutatap dia, nyalang. “Gue yang harusnya paling kaget di sini!”

“Hana, lo kenapa?” Kak Dimitri kembali mencoba memegang tanganku yang langsung kutepis kasar. Ia mengernyit. “Kalau lo tiba-tiba marah begini gue gak paham harus jelasin dari mana, tolong….”

“Emang mau jelasin apa? Kalau Cici itu mantan lo dan gue cuma dimanfaatin? Kalau gue cuma bahan taruhan lo sama teman-teman lo?”

Aku tidak ingin menangis lagi─tidak di depan seseorang yang sudah membuatku merasa seperti sampah, tapi rasanya sakit, sakit karena beberapa menit lalu, seseorang ini jugalah yang membuatku merasa berarti.

“Lucu pasti lihat gue ngejar-ngejar lo, kan? Lucu pasti jadiin perasaan gue mainan lo, kan? Ketika nyatanya lo cuma butuh gue buat malam ini, cuma buat nyakitin kakak gue.”

“… Kakak?”

“Cici─Kak Gladys itu kakak tiri gue! Gimana ceritanya, lo, dan semua rencana jahat lo itu ngejadiin gue alat buat nyakitin kakak gue sendiri?”

Kak Dimitri mengerjap bingung, pupil matanya bergetar. “Kakak lo? Gue gak tau, sumpah gue gak tau dia kakak lo.”

“Percuma,” balasku. Toh semua memang sudah terjadi.

“Onye, please dengar gue. Gue minta maaf karena udah manfaatin lo, tapi yang taruhan itu gak benar. Itu cuma candaan─”

Aku buru-buru mengangguk. “Candaan? Makasih, candaannya gak lucu, Kak. Gue senang pernah jadi candaan buat lo.” Setelah mengusap air mata yang membanjiri pipi, aku lekas melangkah mundur, bersiap pergi.

“Hana, lo gak sebercanda itu buat gue!” Kak Dimitri menarik tanganku, tapi berada di sini; di sisinya, adalah hal terakhir yang kuinginkan. I don’t belong here.

“Bagian mana yang harus gue percaya kalau selama ini lo bohongin gue?” tanyaku, berlinang menatap matanya yang seolah hilang kendali. Dia, benar-benar seperti orang asing, aku tak lagi dapat mengenali tatapannya. “Sekarang gue jadi penasaran, apa yang kemarin kita punya itu nyata?”

Apa pernah ada kata kita di perjalanan ini?

“Jangan pergi,” pintanya, namun aku telah memilih untuk berbalik, dan berjalan menjauh. “Hana, jangan pergi.”

Panggilan itu masih terus terdengar sampai aku menulikan pendengaranku sendiri. Sebab jika aku berhenti, aku takut aku tak punya keberanian untuk pergi di lain waktu. Sementara menetap pun rasanya tidak mungkin, karena jika aku terus di sini, bersama perasaannya yang ragu-ragu, kelak aku yang akan kehilangan diriku karena mencintai seseorang yang ternyata hatinya tidak bisa kubawa pulang.

Aku, tidak bisa meneruskan kisah dengan seseorang yang langkahnya tidak pernah bersamaku.

Untuk itu, malam ini, detik ini….

Aku menyerah.

[HANA]

Bangunan tertutup dengan hiasan lampu yang terlalu terang di beberapa sisi itu nampak begitu asing sekaligus mewah untukku. Dalam sekali lihat saja, ada aura aneh yang meliputi tempat itu, seolah-olah aku tak seharusnya masuk ke sana. Aku menarik ujung dress-ku agar menutupi lutut, kemudian merapikan rambut ke depan sembari menunggu Kak Dimitri yang masih bercermin di jendela mobilnya.

Ia sendiri tampak keren dengan tuxedo hitam, rambutnya sedikit diangkat meski beberapa helai masih berjatuhan─ia pasti sengaja ingin memamerkan dahinya.

Aku mengamati beberapa orang yang berjalan melewatiku, sadar bahwa sepertinya ada acara formal di dalam sana. Ah, untung saja Kak Dimitri telah memberitahuku tentang ini, kalau tidak aku pasti salah kostum. Tunggu, tidak mungkin di dalam ada keluarga besar Kak Dimitri, kan? Aku mendadak panik.

“Yuk!” Kak Dimitri kemudian mengamit tanganku, menuntunku ke arah pintu masuk. Namun sebelum benar-benar melewati area parkir, mataku memicing menatap kejauhan, mendapati motor vespa berwarna biru muda yang tampak sangat familiar.

Baron?!

“Kenapa?” tanya Kak Dimitri karena aku berhenti melangkah sembari menoleh ke sana ke mari untuk mencari Ardika.

Baron itu nama motor vespa kesayangan Ardika, kenapa ada di sini?

“Nggak,” balasku, menggeleng sekilas. Motor tadi pasti hanya mirip dengan motor Ardika. Lagi pula Ardika bilang ia akan mencari cara menyusup ke pesta Kak Gladys─seperti tahun lalu yang kami lakukan bertiga dengan Keana. Kalau ia berhasil, seharusnya ia sedang menikmati pesta itu, tapi aku bertaruh Ardika pasti tertangkap dan dipaksa keluar oleh security lagi. Ardika memang menyukai Kak Gladys sejak dulu, itulah sebabnya ia sering nekat walaupun kakak tiriku itu tidak pernah menganggapnya ada.

Kak Dimitri mengeratkan lagi pegangannya di tanganku, kemudian meneruskan langkah memasuki pintu masuk.

Aku tak dapat mengontrol keterkejutan kendati sudah menduga akan seperti apa suasana di dalam. Bahuku yang telanjang terasa meremang merasakan dinginnya ruangan yang temaram dengan gemerlap lampu di langit-langitnya, kemudian tanpa sadar badanku merapat pada Kak Dimitri begitu kami menginjakan kaki ke tempat di mana kerumunan manusia-manusia itu berkumpul sembari menenteng gelas berisi minuman warna-warni.

Beberapa orang menatap kami dengan pandangan menilai, tidak sedikit dari mereka yang kukenali sebagai senior di kampus.

Aku menggaruk tengkuk, kemudian berjinjit pada Kak Dimitri. “Kok pada ngeliatin kita, ya?” bisikku dengan bodohnya.

Kak Dimitri menunduk, menatapku sejenak dengan senyumnya yang tersungging miring. “Kamu terlalu cantik kali,” jawabnya, balas berbisik di telingaku.

“Ih, serius tau!”

Eh, dia malah terbahak. “Kenapa muka kamu jadi merah gitu?”

“Nggak tau ah!” Aku menutup wajahku dengan sebelah tangan, membuat Kak Dimitri semakin tertawa sembari meneruskan berjalan melewati orang-orang yang tidak bisa kulihat dengan jelas karena terlalu remang. Tak lama, langkah kami terhenti di depan sebuah ruangan terpisah, Kak Dimitri menekan handel pintunya kemudian mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu.

Pertama kali memasuki ruangan itu, aku menemukan tiga orang laki-laki tengah duduk melingkari sebuah meja kecil dengan beberapa botol alkohol di atasnya, lalu mataku menyipit menatap seseorang yang balik menatapku dengan senyum jenaka.

Ia menunjukku dengan semangat, membuat semua orang di ruangan sontak menoleh. “Oh jadi ini yang majang foto Presiden BEM di mading?”

“Itu Juan, dia yang nyepuin kamu ke aku,” ucap Kak Dimitri di sebelahku, kemudian membawaku menghampiri teman-temannya. Mereka menyalamiku satu per satu sembari mengenalkan diri─walau aku sudah tahu─tapi rasanya perkenalan ini berbeda, tidak ada formalitas, malam ini, aku seperti diterima sebagai pacar teman mereka.

“Hana, lo haus? Minum ini aja, yang lain rasanya kayak kencing goblin.” Kak Johnny menyodorkan jus buah kotakan beserta sedotannya, yang diterima oleh Kak Dimitri sebelum diberikan langsung padaku. “Protektif amat, cuy! Baru itu, masih tersegel.”

“Yakali aja abis lo buka dulu, lo kasih pelet.”

“Dih, lo kata?”

Aku tak kuasa menahan senyum begitu menerima jus buah kotakan itu dari Kak Dimitri, tapi sebelum menusukkan sedotan, Kak Dimitri berbisik pelan padaku. Katanya, “Bismillah dulu minumnya.”

“Iya, Kak.”

“Kalau habis minum kamu gak naksir aku lagi, berarti fix minumannya abis dijampe-jampe sama Johnny.”

Aku tersedak. “Hah? Kok gitu? Kak Johnny naksir Kakak ya?”

Senyum Kak Dimitri terbit. Manis. “Dia naksir kamu, dulu sih.”

“Serius?”

Kak Dimitri mengangguk pelan, lalu tangannya bergerak membawaku dalam rangkulannya. “Iya, tapi untung kamu naksirnya sama aku. Kalau kamu gak ada, Nye, aku gak tau bakal sekacau apa sekarang.”

“Maksudnya?” tanyaku, menatap Kak Dimitri lebih dalam.

“Maksudnya, aku senang kamu ada di sini. Aku senang waktu itu kamu majang foto aku di mading, aku senang siang itu ketemu kamu di halte. Intinya, aku senang punya kamu.”

Aku tak bisa berkedip, rasanya seperti jatuh terlalu dalam pada tatapannya yang lembut dan tajam bersamaan. Wajah Kak Dimitri hanya berjarak beberapa senti dari wajahku sendiri, namun anehnya aku tak merasa megap udara, justru mendapati pandangannya yang hangat itu, aku merasa damai.

Aku merasa… amat berarti.

“Aku juga senang,” lirihku akhirnya.

“Buat?”

“Buat kita,” ucapku, memasang senyum terbaik yang kumiliki. “Buat malam ini, detik ini.” Aku berjinjit, berbisik di telinganya.

Karena malam ini, detik ini….

Aku benar-benar telah jatuh cinta.


Semakin malam waktu beranjak, kerumunan orang-orang juga semakin riuh. Kak Dimitri menuntunku menuju tempat lain yang kami lewati sewaktu pertama masuk tadi, meninggalkan teman-temannya di ruangan. Dari tempat kami berdiri saat ini, aku bisa melihat panggung kecil di ujung dance floor, dan walaupun tidak terlalu jelas, sepertinya ada acara ulangtahun seseorang di sana.

“Kita kasih ucapan dulu, yuk?” Kak Dimitri lantas menarik tanganku menuju panggung tanpa menunggu jawaban apa-apa dariku. Di sana ramai, sekumpulan orang melingkari pusatnya, saling bertepuk tangan riang dengan lagu-lagu meriah yang sengaja di putar dengan kencang. Ketika kami mendekat, beberapa wajah langsung tertoleh, tatapan mereka menilai, alis-alisnya berkerut bingung seolah aku adalah makhluk berkepala empat.

“Siapa yang ulangtahun?”

Namun rupanya, pertanyaan itu terlalu terlambat untuk kutanyakan karena aku sendiri telah menemukan jawabannya. Suasana yang semula ramai mendadak hening, bisik-bisik tertahan terdengar samar di belakang punggungku. Kerumunan orang itu menepi, seolah memberi jalan untuk kami berdua mencapai panggung utama.

Dan di sanalah kakakku berdiri; gaun putihnya begitu bersinar di terpa lampu, tapi raut wajahnya justru kehilangan sinar yang seharusnya terpancar paling terang─di hari ulang tahunnya.

“Cici?” bisikkanku serupa angin, tak seorang pun mendengar atau memang mereka tak ada yang peduli. Mataku bergetar, di depanku, persis di hadapanku, Kak Gladys melangkah meninggalkan kue ulang tahun yang bahkan belum sempat ia potong, demi menghampiri kami berdua.

Kak Dimitri masih menggenggam tanganku erat, tapi badanku seakan terkunci di tempat, mataku tak bisa beralih dari Kak Gladys yang juga menatapku tanpa berkedip. Bahunya narik turun seiring langkahnya yang kian mendekat, aku tahu ada seribu pertanyaan di kepalanya saat ini─tentang kenapa aku bisa berada di pesta ulang tahunnya.

Karena itu juga yang ingin kutanyakan, kenapa aku ada di pesta ulang tahunnya?

“Lo?” Tatapan Kak Gladys berpaling pada lelaki di sampingku yang kini tengah mengulurkan tangan kanannya.

Happy birthday,” ucap Kak Dimitri, tersenyum ambigu. Alih-alih menerima ucapan itu, Kak Gladys justru terdiam dan tatapannya kembali lagi padaku. Aku ingin buru-buru menjelaskan padanya kalau aku ada di sini bukan karena menguntit, tapi seolah memahami raut kebingungan Kak Gladys, Kak Dimitri kemudian melingkarkan tangannya di sekitar bahuku. “Oh iya, kenalin…. Ini Hana, pacar gue.”

Aku menoleh cepat. Pacar? Sejak kapan?

“Ah…” Belum sempat aku berpikir, Kak Gladys lebih dulu bersuara, “Jadi dia pacar baru lo?”

Kak Gladys, bertahun-tahun aku hidup bersamanya, ia tidak pernah tersenyum padaku barang sedetik saja. Tapi detik ini, ia tersenyum, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas dengan tulus. Aku baru saja akan membalas senyum itu, namun kemudian aku sadar bahwa senyumnya mengundang air mata. Kenapa senyumnya menyimpan luka? Kenapa… Kak Gladys memasang senyum yang sama seperti waktu pernikahan orangtua kami?

“Cewek lo beruntung ya?” Kak Gladys berdeham, menyamarkan nada suaranya yang bergetar. “Dunia pasti selalu berpihak sama dia, kan? Gue rasa dia emang ditakdirin buat selalu ngalahin gue.” Kalimat itu diperuntukkannya untuk Kak Dimitri, namun tatapan kami masih terus beradu, memimik kesedihan satu sama lain.

Aku sendiri dapat merasakan seluruh tubuhku bergetar ketakutan, meski aku tidak tahu jelas apa yang salah dari kedatanganku kali ini, tapi luka yang terpancar di mata kakak tiriku itu nampak begitu nyata; begitu rapuh dan menyakitkan.

Kak Dimitri menggeleng ragu, tangannya mengerat lagi di telapak tanganku. Baru kurasakan tangannya berkeringat dingin─atau itu keringatku sendiri, entahlah.

“Gue gak tau tentang itu, Dys. Satu yang gue tau, dia gak mungkin pergi ketika gue butuh.”

Kak Gladys terbahak, tapi tawanya terdengar seperti isakan.

Tolong. Aku ingin menghambur ke pelukannya sekarang juga.

Well, I hope so.” Kak Gladys menebas jarak, menatap Kak Dimitri lamat-lamat. “Karena gak ada yang ninggalin lo ketika lo butuh. Lo yang ngusir gue dari hidup lo, asal lo tau.”

Aku mengurut kening, benar-benar tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Bisik-bisik itu kian keras, sementara Kak Dimitri mematung dengan sorot mata asing yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

“Kalau ternyata lo ngelakuin hal yang sama ke dia, gue bakal jadi orang pertama yang ketawa.” Kak Gladys tersenyum, setetes air mata jatuh yang langsung buru-buru ia hapus dengan punggung tangan. “Dimitri Maheru… lo kira gue bakal sakit hati? Lo salah, lo yang lagi nyakitin diri lo sendiri, lo selalu aja salah tentang diri lo sendiri!”

Rahang Kak Dimitri mengeras, pegangannya di tangan gue berubah jadi cengkraman.

“Apa?”

“Lo, lagi nipu diri lo sendiri!”

Kalimat terakhir Kak Gladys membuat semua orang terlonjak kaget dan berubah senyap. Setelah menabrak bahu Kak Dimitri, kakakku itu beranjak pergi melewati semua orang, entah ke mana.

Ini semua terlalu tiba-tiba. Harus pada siapa aku meminta penjelasan?

Dan yang terpenting, sekarang aku harus memihak siapa?