[KEENAN]
Jalanan di sepanjang trotoar yang dihiasi pohon besar dan akar gantung menuju rumah Hana udah sepi menjelang tengah malam begini. Gue mengacak rambut dengan frustasi, Hana gak ada di rumahnya, Hana gak ada di jembatan penyebrangan, Hana gak ada di mana pun tempat yang biasa dia kunjungi.
Gue merasa gagal, gue gagal buat selalu ada di belakangnya, gue gagal menjaga dia.
Gue memilih buat menyusuri jalanan itu sekali lagi sembari memikirkan kemungkinan-kemungkinan di mana Hana berada saat ini. Dan di ujung keputusasaan, sosok itu berjalan terseok-seok jauh di depan gue, kedua tangannya menggenggam sepatu hak tinggi yang sudah dia lepas dan berjalan tanpa alas kaki, sementara itu di bawah lampu jalanan yang temaram, gue bahkan bisa lihat bagaimana air matanya berjatuhan tanpa ampun.
Tangan gue mengepal, ingin rasanya meninju apapun yang ada di sekitar gue, tapi bahkan untuk itu gue udah gak punya tenaga. Seumur-umur, ketika melihat Hana menangis di bawah meja makan sembari berusaha menutup kedua telinga karena pertengkaran orangtuanya, itulah momen paling menyakitkan yang kemudian gue sadari bahwa cinta; bisa menghancurkan manusia sebegitu dalamnya. Di detik yang sama, gue berjanji pada diri gue untuk selalu melindungi dia.
Dan hari ini, tubuh Hana yang luruh di atas trotoar kotor itu, menjadi saksi kegagalan gue terhadap janji gue sendiri.
“Hana!”
Panggilan gue membuat tubuhnya membatu. Dia mengangkat pandangan, lalu gue berlari menghampiri dia yang terduduk memeluk lutut.
“Keenan?”
“Kenapa lo begini?” Tapi gue gak bisa mengontrol emosi, mendapati raut wajahnya yang penuh air mata, gue kehilangan akal sehat gue. “Kenapa? Siapa yang nyakitin lo?” bentak gue, memecah hening yang mengukung. Hana menunduk, enggan membalas tatapan gue. Dia selalu aja begini, dia selalu aja diam ketika gue butuh penjelasan, dia selalu aja bikin gue seolah-olah melakukan kejahatan karena peduli sama dia.
Gue harusnya marah. Tapi bodohnya, gue bahkan gak bisa.
“Kak Dimitri, kan?” tanya gue getir, cuma dengan satu nama itu, Hana akhirnya menengadah, menatap gue yang berdiri di hadapannya. “Dari awal gue gak percaya sama dia!” Mata Hana berkaca-kaca lagi, gue gak sanggup lihatnya, maka gue buru-buru berpaling kemudian melangkah melewati dia.
“Keenan! Ken, nggak… jangan!” Hana menarik lengan baju gue sembari terisak, tangannya yang menahan jaket gue terasa bergetar, tapi gue enggan berbalik. “Jangan apa-apain Kak Dimitri,” ucapnya pelan.
Gue berhenti melangkah, menatap langit, mengatur hela napas yang memburu.
Demi Tuhan, Hana, lo bahkan menghentikan langkah gue padahal lo gak tahu gue mau ke mana cuma karena lo khawatir gue bakal lukain cowok kesayangan lo itu?
Gue merasakan sakit di tenggorokan, sementara pandangan gue sendiri mulai memburam. Bisakah gue lebih patah lagi dari ini?
“Kenapa?” tanya gue kemudian. “Kenapa lo masih peduli sama dia? Setelah lo hancur begini kenapa lo masih peduli sama dia?” Suara gue keluar dengan pelan, kehilangan cara menyembunyikan nada getir di dalamnya. Pegangan Hana di lengan gue terlepas begitu aja, dan gue masih enggan berbalik. Karena kalau gue lihat sepasang mata itu, gue pasti kalah detik ini juga. Gue kembali melanjutkan, “Apa lo gak peduli sama diri lo sendiri, Na? Apa lo… gak peduli sama gue?”
Apa sesekali, lo pernah berpikir bagaimana rasanya jadi gue?
“Gue yang sakit hati kenapa lo yang merasa gue gak peduli sama lo?”
“Karena gue ikut sakit hati lihat lo sakit, Na.”
“Dan kenapa lo harus ikut sakit?”
“Karena gue sayang sama lo!” Gue berbalik, meletakkan kedua tangan di bahunya yang bergetar. “Karena gue yang selalu lindungin lo, gue yang selalu ada buat lo, gue yang jaga lo dari belakang!” Sewaktu akhirnya mata gue dan matanya bertatapan, gue harus menelan rasa sakit itu mentah-mentah karena gue gak lihat diri gue sendiri di mata Hana. Mata itu begitu kosong, dia natap gue gak percaya, seolah apa yang gue sampaikan gak pernah masuk ke telinganya.
Gue membiarkan setetes air mata jatuh, gue mau Hana tahu kalau gue ada di sini; sejak dulu, gue selalu ada di sini.
“Selama sama lo gue merasa cukup, sementara lo selalu melihat keluar. Lo selalu jadi dunia gue, sementara lo mencari dunia yang lain. Gue tahan semuanya karena apa? Karena lo bahagia.”
“Ken, jangan gini….” Hana terisak, tapi gue gak peduli lagi.
“Sekarang lo disakitin orang lain, apa gue masih gak punya hak buat marah? Ketika gue yang terus menerus berusaha bikin lo bahagia?”
“Cukup!”
“Lihat lo bahagia sama orang lain aja udah nyakitin gue, Na. Apalagi lihat lo disakitin orang lain.”
Sepersekian detik kemudian, Hana menghamburkan dirinya ke pelukan gue. Kedua tangannya erat melingkar di pinggang─dapat gue rasakan seluruh tubuhnya berguncang, isakannya menggila seiring dengan tangannya yang terus mengerat di balik badan gue, seolah kalau pelukan ini terlepas, gue akan hilang.
Dia bergumam pelan, “Please, jangan ngomong apa-apa lagi. Gue udah kehilangan banyak orang, gue gak mau kehilangan lo juga. Tolong jangan bikin gue makin benci sama diri gue sendiri. Tolong….”
Gue menggigit bibir lebih kencang, menahan air mata di pelupuk. Dalam pelukan itu, Hana masih terisak. Sementara gue mematung, kedua tangan gue terlalu kebas buat sekadar balik memeluknya. Gue kecewa… gue kecewa karena di titik ini, gue tetap aja kalah.
Mencintai lo adalah sebuah kekalahan buat gue, Hana. Sebab mau seindah apapun cara gue mencintai lo, gue tetap bukan pemenangnya.
Harusnya gue sadar itu, jauh, jauh lebih dulu sebelum semua ini terjadi.
“Lo egois,” bisik gue, parau. Gue menutup mata, terlalu takut menghadapi tatapan Hana, tapi kemudian Hana diam sembari melepas pelukannya.
“Gue bakal anggap lo gak pernah bilang apa-apa, gue bakal lupain malam ini,” balasnya, mengusap jejak-jejak air mata yang telah mengering.
Gue mengernyit. “Segitu gak berartinya kah gue buat lo?”
“Karena lo berarti buat gue makanya gue gak mau kita berubah!” Klise. “Kalau kita pacaran, setahun dua tahun kita putus, terus apa? Kita gak akan pernah sama lagi! Itu yang lo mau?”
Yang Hana gak tahu adalah, setiap hampir memejamkan mata, gue ketakutan setengah mati karena gue gak punya cukup kepercayaan apakah gue akan membuka mata lagi keesokan harinya. Yang Hana gak tahu adalah, bahwa setiap hari, setiap waktu yang gue lewati, gue takut masa-masa itu gak akan datang lagi.
“Gue bahkan belum tentu masih ada setahun atau dua tahun ke depan, Na.”
Kalimat gue keluar sesederhana itu, tapi rasanya seolah dunia ikut runtuh bersama sebagian kesadaran gue yang tersisa. Hana menatap gue nanar dengan genangan air di pelupuk matanya, keheningan itu begitu panjang sampai gue bisa merasakan betapa gemetarnya telapak tangan gue sendiri karena ketakutan. Selama beberapa menit, kita berdua mematung saling pandang dengan sekelumit pikiran di kepala, sama-sama kehilangan selera buat bersuara lagi.
Sampai di satu titik, Hana membuang napas panjang. Katanya, “Lo kabur kan dari rumah sakit? Mending lo balik sana, gue gak bisa antar lo.” Dia berbalik pergi. “Gue gak mau dengar kabar kematian lo besok pagi, jadi jaga nyawa lo baik-baik. Masih banyak yang mau gue omongin.” Setelah itu, Hana melangkah pulang, meninggalkan gue yang memandang punggungnya sampai mengecil di ujung jalan.
Sayangnya, meski dari jauh, meski gelap sekalipun; gue tahu di tiap langkahnya itu, air matanya masih berjatuhan.
Perjalanan pulang menuju rumah sakit diisi dengan kesunyian, gak ada satu pun dari gue dan Ardika yang berniat buka suara atas kejadian barusan. Bunyi motornya yang gak ramah lingkungan memecah ketenangan kota tengah malam. Gue mengangkat wajah, mengamati langit, memperhatikan jembatan penyeberangan kesukaan Hana, dan berakhir menghembuskan napas berat.
Bodoh. Bodohnya gue menghancurkan persahabatan bertahun-tahun ini hanya dalam hitungan menit karena keegoisan gue sendiri.
Sekarang, hilangnya Hana dari orbit gue nampak begitu di depan mata.
Ardika memarkirkan motornya asal di pekarangan rumah sakit yang sepi, setelah meletakkan helm yang gue pakai di spion motornya, gue berjalan gontai menuju kamar rawat gue di lantai lima, membiarkan Ardika membuntuti gue sampai depan pintu kamar.
Keana bangkit dari duduknya begitu gue masuk, ada sorot kesal sekaligus lega yang membayang di kedua matanya, tapi gue enggan bicara. Bahkan ketika Ardika menyeret Keana buat keluar, bahkan ketika pintu akhirnya di tutup dan mendapati diri gue sama kosongnya dengan ruangan ini, gue tetap gak bisa berkata-kata.
Gue bersandar di sisi pintu, menyesali apa-apa yang udah terjadi, membayangkan apa-apa yang akan terjadi─setelah malam ini.
Imaji kesedihan Hana melintas lagi di benak, bagaimana air matanya kemudian berjatuhan karena gue. Gue, yang seharusnya memeluk dia di titik-titik terendahnya, yang seharusnya memastikan dia baik-baik aja, kenapa gue berakhir jadi alasannya menangis?
“Hana emang bego.” Umpatan itu gue kenali sebagai suara Keana. Gue masih dalam lamunan ketika sekali lagi, suara Keana kembali terdengar dari balik pintu yang tertutup. “Hana emang tolol banget, gak ngerti lagi gue,” ucapnya pelan seperti menahan gusar.
Gue melirik sekilas lewat sudut mata, melalui kaca kecil di tengah pintu itu, gue menemukan puncak kepala Keana tengah bersandar di sana.
“Kenapa lo tiba-tiba ngomong begitu?” tanya gue.
Jawabannya datang beberapa detik kemudian. “Emang apa kata yang lebih tepat buat menggambarkan situasi ini? Hana nyia-nyiain lo, if it’s not fools, what should I call it then?” Pilu yang tiba-tiba terasa dalam kalimatnya, membuat gue lantas menyadari sesuatu. Tapi sebelum gue mampu membalas, Keana lebih dulu bersuara, “Udahan yuk? Gue bosan cemburu. Gue bosan, bosan banget, Ken. Selalu jadi nomor ke sekian, padahal nomor satu lo gak pernah mencintai lo seperti gue.”
Jangan.
Jangan lagi.
Gue mengusap wajah dengan kasar; semesta terlalu bercanda.
“K, mau gue kasih tau satu hal lucu tentang dunia?”
Hela napasnya terdengar letih di belakang sana. “Tell me,” balasnya.
Gue menarik sudut bibir, senyum pertama gue malam ini. “Kadang, dalam hidup, kita bisa benar-benar mencintai seseorang begitu dalam. Tapi untuk suatu alasan, orang itu gak bisa mencintai kita balik.”
Sudut-sudut bibir gue tertarik sekali lagi, tapi kali ini bukan senyum, gue cuma berusaha nahan rasa sakit di ujung tenggorokan yang tercekat. “Kayak gue, kayak lo, kayak Dika....” gue melanjutkan.
Senyap setelahnya, Keana mematut-matutkan kepalanya di pintu, membuat gue yang berdiri tepat di belakangnya jadi ikut merasakan gerakan randomnya itu. Pasti, ada begitu banyak hal yang memenuhi kepalanya saat ini, karena itu juga yang sedang gue alami.
“So?”
“Lo berarti buat gue, apa yang kita punya juga sama berartinya buat gue. Jadi jangan menempatkan gue pada pilihan di antara itu, karena lo dan persahabatan kita sama berharganya.” Gue berusaha menjelaskan tanpa terdengar hipokrit, karena jauh di dalam, gue tahu gue baru aja melakukan hal yang sama seperti yang Hana lakukan.
Mengatakan itu pada Keana, ternyata hanya menyadarkan gue bahwa manusia itu makhluk paling munafik yang pernah ada. Tapi di titik ini, gue gak tahu lagi pilihan apa yang harus gue ambil agar segalanya tetap baik-baik aja.
Gue cuma gak mau segalanya berjalan kian buruk.
“Dari kita kecil, lo selalu lebih berani dari gue. Lo kayak tameng yang melindungi teman-teman lo, K. Dan gue minta maaf karena seharusnya gue juga bisa lakuin hal yang sama buat lo,” bisik gue, Keana gak lagi mematutkan kepalanya di pintu, samar gue dengar dia berusaha meredam tangis. “Sorry for not being able to give back as much as you did. I know how it feels and I’m really sorry… sorry, because we can’t be us.”
Gue harap, gue melakukannya dengan baik. Gue harap, gue gak merusak kepercayaan Keana terhadap cinta, gue harap gue gak menorehkan luka yang berarti, sebab gue paham bagaimana sakitnya.
Di pintu itu, gue kembali menyandarkan tubuh, meraup oksigen sebanyak yang gue mampu karena sesak ini masih terus bergerumul di dada. Seandainya Hana juga bisa melakukannya dengan lebih baik, seandainya dia bisa sedikit aja mengerti….
“It’s okay, Ken. Gue juga gak pernah sekalipun berharap kita jadi lebih dari sekadar kita yang sekarang.”
Dan seandainya gue bisa selapang itu….
“Things will get better though, K. We just have to hang on a little longer.”
“Gue rasa harusnya gue yang bilang begitu.” Dia terkekeh. “Like you said, things will get better though, lo juga harus bertahan. Ah, lo emang paling bisa nenangin orang lain padahal lo yang jauh lebih butuh ditenangin, don’t push yourself too much, silly you!”
Gerutuannya bikin gue mau gak mau jadi ikut terkekeh pelan, walau gue tahu Keana gak bisa lihat gue. “Istirahat sana, sorry gue tengah malam jadi emosional gini. Gue pulang, ya? Ardika bisa ngamuk kalau gue gak turun juga.”
Tanpa menunggu jawaban dari gue, Keana udah melangkah pergi sewaktu gue berbalik dan menatap sosoknya lewat kaca pintu. Dia mungkin kelihatan baik-baik aja, tapi jelas gak ada patah hati yang baik-baik aja.
Patah hati, mau bagaimana pun ceritanya, gak mungkin berakhir baik-baik aja.
Semalaman, gue menekuk lutut di balik pintu, bersama kekosongan dan rasa bersalah yang terasa kian menggerogoti diri.