Kendaraan & Perjalanan
[KEENAN]
Sore ini, gue kedatangan tamu gak terduga. Demi Tuhan, gue gak pernah membayangkan dia bakal mengunjungi gue seperti ini, bahkan kalau sesekali gue berandai-andai apakah gue bisa bertemu Rinjani lagi, bukan di sini… bukan di kamar rawat rumah sakit.
Ini pertama kalinya gue melihat dia semenjak kelulusan sekolah─hari itu pun, gue sama sekali gak berkesempatan buat mengucapkan selamat atas kelulusan kita berdua; Rinjani benar-benar membuang gue dan untuk itu dia telah menunjukkannya dengan cukup jelas.
Maka, kedatangannya sore ini mendorong gue buat bertanya, “Ada apa?”
Ada urusan apa? Kenapa tiba-tiba berkunjung?
Setelah menaruh sekeranjang buah-buahan di atas meja, Rinjani mengedarkan pandangannya ke sekililing kamar tanpa menggubris pertanyaan gue. Baru ketika mata kita bertemu karena gue ikut menilik sosoknya, Rinjani akhirnya bergerak menarik kursi dan duduk di sisi gue dengan tenang.
“Kamu kelihatan kacau, Keenan.” Gue memicingkan mata, tapi Rinjani kelihatan jujur dan gak ada nada meledek di kalimatnya. “Kacau banget, kayak porselen hidup,” dia melanjutkan.
Gue terkekeh pelan, menghargai kejujurannya. “Iya, Jani.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Iya, kenapa jadi begini? Bukannya ada Hana?”
“Maksud kamu?”
Dia mengangguk ragu. “Aku kira, selama ada Hana, kamu bakal selalu baik-baik aja.” Jawaban Rinjani membuat kerutan di kening gue semakin dalam. “Sebenarnya, aku datang dari dua jam yang lalu. Tapi waktu mau masuk, aku lihat kamu sama Tante Erika lagi ngobrol, jadi aku nunggu di kafetaria rumah sakit. Keenan, jangan marah, ya? Aku sempat dengar obrolan kalian berdua. Orangtua kamu cerai?”
Gue menghembuskan napas sembari menggaruk kening, bingung. Maksudnya, kalau dia memang nguping kenapa harus ngasih tahu gue? Gue kan mau marah jadi gak enak.
Mengangkat pandangan dan menemukan sorot mata khas Rinjani, gue tiba-tiba teringat kenangan yang pernah kita punya. Dia memang tipikal orang yang selalu berkata jujur, apa yang ada di pikirannya nyaris selalu keluar tanpa disaring. Bahkan dulu sebelum gue mampu mengakui perasaan gue, dia yang lebih dulu berceloteh tentang susahnya membangun komitmen─sederhananya, dia menolak gue sebelum gue tembak.
Tapi gue akui, walau tanpa status yang berarti, kehadirannya di hidup gue cukup membekas.
“Orangtua kamu cerai?” ulangnya karena gue gak kunjung bersuara.
“Oh? Kamu simpulin aja sendiri. Katanya kamu dengar?”
Dia memberengut. “Aku gak dengar sampai abis. Aku cuma dengar sampai ‘dua orang yang menjalin hubungan itu kayak lagi berkendara’. Kamu sendiri, setuju gak sama filosofi itu?”
Gue menggeser duduk dan menegakkan tubuh sebelum menatap Rinjani lurus-lurus. Dari awal kedatangannya, udah berapa kali dia meloncat topik dan membalas pertanyaan gue dengan pertanyaan yang baru? Rinjani perempuan yang pintar, dan gue tahu ada sesuatu yang ingin dia sampaikan─yang mungkin juga jadi alasannya datang.
Dan apapun itu, gue rasa bukan sesuatu yang bagus.
“Ada apa, Jani? Sebenarnya kamu mau bilang apa?” Gue melenguh tak sabar.
“Setuju gak sama filosofi itu?”
“Aku jawab kalau kamu jawab pertanyaan aku dulu. Kamu, datang ke sini mau apa?”
“Mau nepatin janji sama Dika,” balasnya cepat, kemudian membuang muka, menghindari tatapan gue.
“Janji?”
“Dika bilang aku harus nemuin kamu, setidaknya aku harus minta maaf selagi aku bisa.”
Mendengar itu, rasanya seolah semua orang memang udah bersiap kalau-kalau gue mati. Lucu, ya? Gue rasa cuma gue yang belum bersiap untuk itu. Bagian yang lebih lucu adalah ternyata Rinjani mendatangi gue karena merasa berutang kata maaf, bodohnya gue sempat berharap ada yang lebih.
“Tapi aku gak akan minta maaf, Keenan. Karena aku tau kamu gak mau dengar itu,” Rinjani melanjutkan lagi, kali ini lebih pelan. Gue bersyukur dia sadar, karena kalau dia meminta maaf, rasanya seperti dia juga menyesali apa yang udah terjadi—termasuk hubungan ini. Sementara bagi gue, gak ada yang perlu disesali, hari-hari yang gue miliki sama Rinjani juga cukup berarti.
Dengan gugup, gue lirik dia lewat sudut mata. Pandangannya mengawang-ngawang, sementara bibirnya mengukir senyum tipis seakan benaknya tengah memutar kaset lama—nostalgia.
“Tentang dua orang yang berkendara itu… menurut kamu, kalau dulu aku gak ninggalin kamu, apa kita bisa berkendara bersama?”
Kita saling tatap, hening.
“Entah,” jawab gue, mengedikkan bahu. Di titik ini, akan sangat menyenangkan mungkin seandainya gue memiliki Rinjani. Jadi gue gak harus merasa kehilangan Hana, jadi gue gak harus terlalu menjaga Hana. Ya, seandainya saja.
“Menurut aku, bisa.”
Bersama Rinjani, kadang-kadang segala hal yang semestinya samar seringkali berubah jelas karena dia selalu menunjukkannya dengan jelas pula. Kalau suka, dia akan bilang suka, kalau tidak, ya dia akan bilang tidak. Dulu, gue kesulitan menerima perangainya itu karena setiap kali gue berusaha melakukan sesuatu buat menarik perhatiannya, Rinjani langsung bereaksi tanpa berpikir panjang. Kadang, gue merasa dicintai. Kadang justru sebaliknya.
“Tapi kamu kan gak suka berkendara.”
Dia menghela napas, lalu senyumnya berubah sedih. “Perempuan mana yang suka berkendara sama laki-laki yang hatinya mendamba penumpang lain?”
Napas gue tercekat, terlebih sewaktu Rinjani menatap gue dengan senyum sedihnya itu.
“Aku gak bisa memulai perjalanan sama seseorang yang maunya ada di kendaraan yang lain, itu sebabnya kendaraan kita berhenti, Ken. Kendaraan kita udah lama terhenti, bahkan jauh sebelum jalanan berubah terjal dan aku yang pergi, kendaraan kita emang gak pernah ke mana-mana.”
Untuk sesaat, gue ingin mendebat dan menyalahkannya yang terlalu abu-abu dalam menanggapi setiap perlakuan spesial gue, tapi sebelum mampu melakukan itu gue tiba-tiba teringat bagaimana lengkung senyumnya kerap surut tiap kali menemukan gue sedang bersama Hana, bagaimana ia selalu mencari alasan untuk menolak ajakan pulang bareng gue karena tahu gue terbiasa pulang dengan Hana, atau bagaimana obrolan ringan sepulang nonton bioskop yang tadinya menyenangkan berubah dingin karena gue harus membagi perhatian untuk membalas pesan-pesan Hana.
Berapa kali gue mengabaikan sorot mata Rinjani yang kecewa, dan berpikir dialah yang mengabaikan gue? Berapa kali gue menyalahartikan reaksinya, dan tidak memahami perasaannya?
Mengingat itu, menyadarkan gue betapa buruknya gue sebagai lelaki.
“Dulu, waktu kamu pergi, aku sempat mikir kamu orang yang jahat.” Udah saatnya gue mengakui itu. “Aku pikir, kamu terlalu pengecut buat bertahan sama orang sakit kayak aku. Sekarang aku tau kalau ternyata aku emang gak cukup baik buat kamu, ya? Atau justru aku si orang jahat itu.”
Rinjani memandang gue dengan sorot matanya yang penuh kata-kata, tapi akhirnya dia mengangguk juga, mengakui kalimat gue sebelumnya.
“Iya, kamu jahat. Kalau orang lihat bagaimana cara kamu menyayangi Hana, mungkin kamu bakal kelihatan kayak cowok paling sempurna, tokoh fiksi, too good to be true. Tapi, kalau dilihat dari posisi aku, kamu gak lebih dari sekadar cowok brengsek pada umumnya.”
Dia masih menatap gue ketika air matanya luruh dan jatuh di atas tangan gue.
“Keenan, kalau mau brengsek, brengsek aja. Yang bikin aku benci sama kamu itu karena kamu brengsek tapi masih berusaha gak bikin aku kecewa, itu membingungkan. Aku kayak punya raga kamu tapi nggak sama hati kamu,” jelasnya getir, membuat gue merasa bersalah seketika.
“Makanya aku milih buat pergi sendiri, karena kalau bukan aku yang pergi gak mungkin kamu. Kamu gak mungkin ninggalin aku walaupun kamu maunya begitu.”
Itu adalah sebuah pengakuan sekaligus penjelasan, sesuatu yang meski gak pernah gue cari tapi tetap gue pertanyakan setiap kali gue mengingat kepergian Rinjani yang tiba-tiba. Gue selalu berpikir apa yang salah, dan berakhir menjadikan penyakit gue sebagai satu-satunya alasan yang masuk akal kenapa Rinjani memilih hengkang dari hidup gue, padahal jawabannya ternyata sesederhana itu.
Jawabannya ternyata ada di gue.
“Maaf, Jani,” gue bergumam, bahkan buat natap matanya aja gue gak lagi punya keberanian.
“Jangan minta maaf, udah kejadian. Pasti susah, kan, ngejaga perasaan kamu buat aku sembari ngejaga prioritas kamu juga?” Dia mengulurkan sebelah tangan untuk menangkup pipi gue, usapannya pelan, terlalu hati-hati—seolah sedang menyentuh benda yang rapuh.
Gue mengabaikan sesak di dada, mengamati sosoknya sedemikian rupa dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata ketika mengingat kembali betapa dalam luka yang gue buat di hidupnya.
“Kamu pintar banget ngeduluin kebahagiaan orang lain tapi kebahagiaan kamu sendiri gak kamu pikirin. Jangan begitu, Ken. Kadang-kadang, kita juga boleh egois, kok.”
Gue menarik napas dalam kemudian memalingkan wajah, menyingkirkan tangan Rinjani dari pipi gue, membuatnya sadar ada batas-batas yang gak seharusnya kita lakukan lagi.
“Buat hal-hal yang menurut kamu penting, harusnya kamu bisa sedikit lebih egois. Karena kalau gak begitu, kamu bakal terus kehilangan.” Seulas senyum yang baru melintas di wajahnya, jenis senyum yang sama dengan senyum yang pertama kali gue lihat di perpustakaan sekolah beberapa tahun lalu. “Dan ngomong-ngomong soal maaf, aku gak akan minta maaf karena ninggalin kamu tiba-tiba, itu udah jelas kan alasannya? Aku mau minta maaf, karena aku kamu telat sadar kalau ternyata bahagianya kamu adalah Hana.”
“Maaf, Jani. Aku harusnya bisa lebih baik sama kamu. Maaf.”
Sekali lagi, matanya yang masih merah karena tangis itu menilik gue, seolah mengamati perubahan apa aja yang terjadi. Ketika bercermin, gue kadang membenci bayangan gue sendiri karena sosok yang terpantul di sana seperti cangkang tanpa jiwa. Dan kira-kira begitulah sorot yang terpancar di matanya—perpaduan benci dan iba.
“Please be happy, Keenan. Be happy,” ujarnya dengar suara bergetar. Gue mengangguk mengiyakan, seperti yang selalu gue lakukan pada orang-orang yang mengharapkan gue untuk terus berjuang dan gak menyerah, gue mengangguk tanpa benar-benar memaknainya.
Setelah itu, gak ada lagi obrolan yang berarti. Rinjani bangkit berdiri sepuluh menit kemudian, dengan canggung mengulurkan tangan perpisahan pada gue, dan kali ini, gue menyambut uluran tangan itu dengan senyuman.
Rinjani, please go and find someone who can love and treat you better than me, someone who makes you a priority in his life—and I hope it won’t end like us. Rinjani, please be happier than me.