Teman Hidup

Gorden jendela ruang rawat Keenan tersingkap, menjadikan lampu luar dan lampu dari gedung-gedung di seberang sebagai satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini.

Aku menarik selimut lebih tinggi, menutupi badanku dan badan Keenan sampai sebatas dada. Seringai miring muncul di wajahnya ketika memperhatikanku merapikan selimut, kemudian bergerak perlahan untuk merapatkan diri padaku.

“Lampunya biarin mati aja, ya? Gak takut, kan?”

Aku mendesis. “Emangnya gue anak kecil apa?”

Ia mengangguk. “Pintu udah dikunci?” tanyanya lagi, tatapannya yang nakal tiba-tiba membuatku beringsut mundur.

“Kenapa harus dikunci?”

“Ntar ada orang yang masuk gimana?”

“Emang kenapa? Kita kan cuma bobo bareng.” Kedua alisku bertaut, heran kenapa Keenan terlihat mencurigakan, padahal kami sudah melakukan kegiatan ini sejak kecil dan tidak pernah keluar batas.

Lagi, seringai itu kembali muncul, matanya mengerling jahil. “Oh, cuma mau bobo bareng, ya? Tapi kan gak ada Keana sama Dika, berarti bisa lebih harusnya.”

Aku membulatkan mata. “Kacau otak lo abis operasi jadi begini? Otak lo ketukar apa? Gila, ngeri abis gue pulang aja, ah!”

“Jangan, dong.” Keenan langsung merengek dengan kedua tangannya yang melingkar di badanku, menahanku agar tidak menjauh. “Kalau lo ninggalin gue lagi, gue bakal benar-benar pergi dari hidup lo. Mau?”

“Nggak….”

“Makanya, diam aja.” Keenan kalau ngancam seram juga, ya. “Jangan pernah berpikir buat ninggalin gue, lo udah punya gue, gak ada penolakan.”

Aku tersenyum, lalu memainkan jari-jariku di kepala botaknya. Ah, aku tidak sabar akan menyaksikan bagaimana rambutnya tumbuh dan mulai panjang.

Aku juga tidak sabar untuk melihatnya bisa bermain bola lagi. Aku ingin ada di sana, menyorakinya ketika mencetak gol, memberinya minuman dingin, menontonnya merayakan kemenangan bersama timnya di tengah lapangan.

Aku ingin ada di sana, menemaninya membaca buku-buku hukum di perpustakaan, memperhatikan dahinya yang senantiasa berkerut ketika mengerjakan soal-soal tes masuk universitas, lalu jadi orang pertama yang mendapat berita baik tentang kelolosannya.

Aku ingin melakukan itu semua, seperti yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

“Kak Dimitri benar, ya. Orang-orang yang ditakdirkan hadir dalam hidup kita, sejauh apapun mereka pergi—”

“Mereka selalu punya jalan buat kembali,” Keenan menyambung kalimatku, lalu seulas senyum yang begitu lembut melintasi wajahnya. “Lo tau? Bagian ironisnya adalah, Kak Dimitri, orang yang bisa dibilang merebut lo dari gue malah jadi orang yang bikin gue pengen bertahan buat lo.”

Aku lantas mengernyit. “Kok gitu?”

“Sebelum gue pergi ke Singapura, gue nemuin dia. Dia bilang sama gue buat jangan menyerah, jangan sampai gue nyesal karena udah ninggalin orang-orang yang sayang sama gue.” Keenan mengusap dahiku, senyumnya penuh arti. “Kalimat itu yang selalu gue ingat selama di ruang operasi.”

Tatapanku jatuh di kedua matanya yang berbinar-binar. Di titik ini, aku salut pada dunia, pada caranya memutarkan kebaikan. Faktanya, kalimat itu adalah kalimat yang kuucapkan pada Kak Gladys—ketika aku menemukannya tengah sibuk menggoreskan sebuah silet di salah satu pergelangan tangannya.

Semesta memang selalu memiliki caranya sendiri dalam membahagiakan seseorang. Dan bagiku, kebahagiaan itu sesederhana menyadari bahwa keberadaanku mampu mengisi ruang yang rumpang dalam hidup orang lain.

Anyway, surat buat gue mana? Lo bilang di chat lo balas surat gue?” Pertanyaan Keenan membuatku mengerjap seketika, lalu tersenyum kikuk, sadar bahwa surat yang kutulis untuknya agak sedikit menggelikan.

“Oh? Gak usah di baca, deh.”

“Enak aja. Mana? Nih, pemiliknya udah di sini, mau gue baca.”

Aku tergelak. “Gak usah! Malu tau?!”

“Kok malu?” Kedua alisnya bertaut. “Hayo, nulis apa emang?”

“Apa aja boleh!” jawabku seraya menjulurkan lidah meledek, membuat Keenan ikut tertawa.

“Pasti nulis tentang betapa sayangnya lo ke gue, kan?”

“Iwh, kepedean banget. Tapi, emangnya kalau iya kenapa?” Keenan tak lagi menjawab, tangannya bergerak untuk mengusap pipiku dengan lembut, kemudian mendekatkan wajahnya perlahan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi detik di mana bibirnya menyentuh keningku, adalah detik di mana aku merasa begitu berarti.

“Gue sayang lo,” bisiknya. Tatapan matanya yang sayu membuatku panas dingin, sorot matanya begitu dalam seperti blackhole, menarik semua kewarasanku yang tersisa.

“Gue lebih,” balasku, lalu senyum yang teramat hangat itu kembali terukir. Dapat kurasakan tangannya mengeratkan pelukan kami seiring dengan matanya yang mulai terpejam. Malam ini, aku akan selalu mengingat malam ini sebagai salah satu malam paling indah dalam hidup.

Terimakasih, Keenan….

Untuk menjadi teman hidup, untuk menjadi seseorang yang membuatku merasa berarti telah dilahirkan ke bumi.