Almost Is Never Enough
[HANA]
Keesokan harinya, selama menunggu pergantian kelas yang kuhabiskan di kantin fakultas, Keana dan Ardika menemaniku, dengan sibuk menyodorkan handphone dan memberitahuku kalau radio kampus sedang siaran.
Jujur, kami bertiga tidak tertarik dengan radio kampus juga tak pernah mendengarkannya tiap kali siaran, jadi mendapati Keana sibuk menaruh ponsel di tengah-tengah meja yang kami tempati, menyetel volume dengan pas, membuatku lantas mengernyit.
“Sejak kapan lo suka dengar radio kampus?”
Ardika mendelik. “Sejak dia tau guest star hari kakak lo, sama Presiden BEM.”
“Serius? Kak Dimitri sama Cici ikut siaran, atas dasar apa?” tanyaku bingung, lagipula bukankah hubungan mereka tidak baik-baik saja?
“Tukar pikiran bersama mantan kali?” Omongan Ardika dibalas pukulan oleh Keana. “Yaudah iya, aku selalu salah, aku mengeluh dengan hidup ini!” lanjutnya sembari meringis. Aku ingin tertawa, tapi tak kuasa karena tiba-tiba hatiku terasa berat mendengar kalimat Ardika sebelumnya. Buru-buru kutepis perasaan itu jauh-jauh.
“Sotoy lo, kecebong! Cici diundang karena baru pulang exchange, kalau Kak Dimitri … no idea!” jelas Keana, sebagai salah satu biang gosip kampus, aku takjub bagaimana Keana selalu up to date tentang segala hal. Setelah kami bertiga berubah hening dan lagu dari siaran radio berakhir, penyiar perempuan bersuara riang membuka sesi curhat—yang curhatannya berasal dari kiriman mahasiswa-mahasiswi kampus.
“Inbox pertama masuk, nih. Saya bacain, ya. _Uhm, halo. Saya mahasiswa tingkat dua, rencananya mau mengajukan aplikasi buat exchange tapi masih ragu dan ada banyak pertimbangan ternyata. Kak Gladys, kalau boleh tau motivasinya apa, ya? Dan bagi pengalamannya juga dong biar saya semakin membulatkan niat. Makasih, Kak._ Have a great day!”
“Have a great day too!” Suara Kak Gladys terdengar ramah dan excited, aku tersenyum mendengarnya.
Penyiar tersebut menyahuti, “Pertanyaan yang bagus, saya juga mau tau deh, apa motivasi terkuat Kak Gladys buat exchange, dan apa aja pengalaman yang Kakak dapat di sana? Silahkan dijawab, Kak.”
“Wah, thanks to everyone who asked me, but please keep your expectation low as my answer might disappoint you.” Alisku menukik begitu Kak Gladys tertawa canggung, lalu mulai menyadari akan ke mana topik ini berlanjut. “Awalnya, saya gak pernah berpikir aplikasi yang saya ajukan bakal diterima, tapi suatu hari hidup mulai menyebalkan. Dari yang udah menyebalkan, jadi semakin menyebalkan,” ia menjeda. “It feels like everyting I wish for seems complicated and is getting more and more worse, I’m tired of living like that, I want to escape from reality. Dan saat itulah, kesempatan itu datang.”
“Dengan melarikan diri?” Tidak ada yang lebih terkejut dariku ketika suara Kak Dimitri tiba-tiba terdengar. Keana dan Ardika menatapku bersamaan, tapi aku memilih fokus pada radio.
“Ya, dengan melarikan diri. Saat itu saya mulai mempertanyakan apa arti saya di mata orang-orang, dan ketika saya butuh itu nggak ada yang benar-benar meyakinkan saya. Bagi ayah saya, saya adalah si sulung yang harus menjadi contoh untuknya adiknya, maka sewaktu saya bilang saya dapat kesempatan exchange, beliau dengan bangganya menyuruh saya pergi. Hal yang sama berlaku pada teman-teman saya, bahkan orang terdekat saya. I was someone’s ‘home’ for a years. He told me I was his home, but he just easly let me go. Gak ada yang benar-benar membutuhkan saya, we’re replaceaple.”
“Saya memulai pertukaran pelajaran ini dengan motivasi yang nggak cukup baik, don’t mad at me. Tapi begitu saya pergi, mengenal orang-orang baru, tempat yang baru, lingkungan yang baru, saya paham kalau dunia berubah, manusia berubah, begitu pun posisi kita dalam kehidupan orang lain. The world doesn’t revolve around me, and then I realize I can only depend on myself.”
Sudut-sudut bibirku tertarik ke atas dengan sendirinya, entah kenapa kurasa di dalam ruangan siaran itu pun, Kak Gladys pasti tengah tersenyum.
“Pertukaran pelajar bagi saya bukan sebuah prestasi, lebih dari itu, saya bisa memandang dunia dengan lebih baik. Alih-alih mendapat ilmu, saya rasa saya hanya dapat hikmahnya.”
Ardika terbahak sekencang-kencangnya, membuat para ibu-ibu penjaga kios dan seisi kantin menoleh pada kami. Aku sendiri tak dapat menyembunyikan tawa, sebab dari radio, tiga orang di sana juga terdengar tengah terkekeh-kekeh.
Kak Gladys menghela napas sebelum melanjutkan lagi, “Tapi bagaimanapun, evaluasi kembali niat kalian yang mau exchange. Healing, melarikan diri, atau memang ingin belajar? Sebab saya yang niat awalnya ingin melarikan diri, ketika kembali saya sedikit membawa rasa sesal dan kecewa. Seandainya saya bisa melakukannya dengan lebih baik, itu yang saya sesali. Saya rasa, setiap mimpi harus dievaluasi lagi apa tujuan awalnya, jangan sampai menimbulkan sesal di kemudian hari. Semangat!”
“Jawaban Kak Gladys di luar dugaan banget ternyata, but in the other side, entah kenapa saya ngerasa dada saya menghangat, ya? Pengalaman Kak Gladys, semoga bisa menjadi pelajaran buat semua orang di luar sana. Terimakasih Kak, udah berbagi sama kita.” Penyiar radio itu kemudian bersuara kembali, “Oke, kita lanjut ke inbox kedua. Halo kakak-kakak, saya mau curhat. Jadi saya punya orang yang saya suka selama bertahun-tahun, tapi saya kemudian tau kalau perasaan saya gak mungkin terbalas. Saya bingung, di satu sisi saya pengen dia bahagia, tapi di sisi lain, saya juga pengen bahagia.”
Hening setelahnya, baik di antara orang-orang di balik siaran radio kampus, maupun dengan kami bertiga.
“Gimana, nih? Siapa yang mau kasih saran, Kak Dimitri mungkin?” tanya si Penyiar.
Lama, sampai suara Kak Dimitri terdengar lirih.
“Kebetulan beberapa hari lalu, seseorang bilang sama saya, apa yang takdirnya bukan buat kita, ya relain aja… begitu katanya. Tapi saya percaya, orang-orang yang ditakdirkan buat hadir dalam hidup saya, sejauh apapun mereka pergi, mereka selalu punya jalan buat kembali. Mungkin, perasaan kamu gak terbalas karena kamu berhak dapat yang lebih baik. Siapa yang tau?”
Aku tersenyum pahit, kalimat Kak Dimitri kembali menyadarkanku betapa aku masih begitu menyayanginya.
Kak Dimitri mengesah. “Menurut pengalaman saya, melepaskan lebih baik. Bukan berarti menyerah, tapi kadangkala kita cuma mau lihat orang yang kita sayang bahagia. Dan kalau memang bahagianya bukan kita, mau bagaimana? Bukannya kalau memaksakan kebahagiaan kita sementara orang yang kita sayang gak bahagia, itu lebih buruk ketimbang melihat dia bahagia sama orang lain?”
Kak Dimitri menghela napas, lalu melanjutkan, “you must find someone that fit you, someone who admires you, someone who trust you and proud of you. Masing-masing dari kita berhak bahagia dengan jalannya sendiri, jangan dipaksa. Oke, sender?”
Dapat kurasakan pahit yang menggumpal di tenggorokan, seolah menggenapkan keterpurukanku. Mendapatinya yang terdengar begitu merelakan apa-apa yang telah terjadi di antara kami, aku ingin menangis.
Tawa Kak Dimitri dan tepuk tangan ringan dari sang Penyiar kemudian mengakhiri sesi curhat siang itu, tapi aku masih mematung di tempat.
“Gue baru tau dia punya sisi yang keren begitu,” celetuk Ardika.
“Semua tentang dia emang keren, dan lo nonjok dia seenak udel lo, Dika!” Aku mendesis.
“Gue jadi naksir Kak Dimitri ….” bisik Keana, yang langsung kupelototi. Namun bukan aku, melainkan Ardika yang lebih dulu memprotes.
Katanya, “Apa lo bilang? Gue juga bisa sekeren itu!”
“Bodo amat, gak dengar!”
“Shhttt!” Aku meletakkan telunjuk di bibir, menyuruh Ardika dan Keana diam karena suara Kak Dimitri mulai terdengar lagi.
“Lagu yang mau saya nyanyiin ini buat seseorang di luar sana. Mungkin dia gak dengar, gak apa-apa,” gumamnya.
“Oke, untuk mengakhiri siaran hari ini, ada hadiah spesial dari Presiden BEM kita. Sebelumnya, terimakasih buat Kak Gladys dan Kak Dimitri yang udah nemenin kita sejam ini, maaf apabila ada kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan ya, Kak. Jangan sungkan buat berbagi lagi di sini.”
“Sama-sama, Aggie. Senang bisa diundang radio kampus,” jawab Kak Gladys ramah.
Kemudian…
“Sampai ketemu lagi di siaran minggu depan, saya Aggie pamit undur diri.” Penyiar bernama Aggie itu menjeda sesaat sampai samar-samar suara musik mulai terdengar. “Dan ini hadiah spesial dari Kak Dimitri, ‘Almost is Never Enough’. Selamat mendengarkan!”
Tubuhku sentiasa membatu begitu denting piano memecah keheningan, lalu perlahan suara familiar seseorang yang hampir tiap malam menemaniku mulai bernyanyi. Aku terlalu larut, sampai kutemukan diriku terisak sembari menggenggam erat ponsel yang masih menyiarkan nyanyiannya.
Well we almost, we almost knew what love was But almost is never enough.
Aku menangis, untuk malam-malam ketika dia ada untukku, untuk perjalanan-perjalanan di dalam mobilnya, untuk hari-hari esok yang seharusnya kami miliki. Dan aku menangis untuk diriku sendiri, pada kebodohanku mencintainya, pada ketidakmampuanku bertahan di sisinya.
Ini semua sudah sulit untuk Kak Gladys dan Keenan, tak mungkin bagiku untuk menambah sakit hati mereka.
Tapi jika Kak Dimitri ahlinya berpura-pura, maka aku adalah orang pertama yang berdiri di belakangnya.