Paradoks
[DIMITRI]
Keenan ternyata benar-benar pergi beberapa hari kemudian.
Sejak dia menghubungi gue lewat chat malam itu, gue meminta Tio buat mengawasi Hana. Iya, gue rupanya masih gak bisa buat gak peduli. Dan kabar dari Tio itulah yang bikin gue sampai di koridor rumah sakit ini, memandangi Hana yang tengah menangis dari kejauhan.
Melihatnya hancur begitu, gue ingin berlari dan membawa dia dalam peluk gue, tapi gue jelas tahu gue gak seharusnya melakukan itu.
Gue diam di sana selama beberapa jenak, terduduk di salah satu kursi, menjadi satu-satunya orang yang menghuni ruang tunggu. Sampai kemudian, suara seorang perempuan membuat gue menoleh.
“Lo ngapain di sini?” tanyanya bingung.
“Lo sendiri ngapain?” Gue balas gak kalah skeptis. Setau gue, Gladys bukan kakak yang baik buat Hana, gue heran aja ternyata dia peduli. “Gue ke sini karena seseorang nitipin Hana sama gue, itu aja,” gumam gue sembari mengedikkan bahu karena Gladys masih tampak penasaran. Dia lalu mendengus, dan duduk berjarak dua kursi dari tempat gue.
“Really?” Gladys ketawa pelan, tapi tawanya kedengaran mengerikan karena bergema di koridor. “Liar!”
Gue tatap dia sinis. “Please, gak usah mancing keributan.”
Dia masih terkekeh, entah buat apa. “Gue kira lo sama Hana bakal longlast,” katanya, lama mengenal Gladys, gue bisa membedakan mana kalimatnya yang sarkas dan tulus semudah membalikkan tangan. Dan kali ini dia kedengaran tulus mengucapkan itu. “Gak usah tersanjung, sama kayak lo yang masih mau mastiin Hana baik-baik aja, kurang lebih gue juga begitu.”
“Lo sayang Hana?”
“Gue sayang lo, tolol.”
Giliran gue yang ketawa. “Gue emang sayang-able.”
Gladys gak memprotes kalimat gue dan sibuk memandang ke depan, ke salah satu pintu ruang rawat yang tertutup.
“Lo tau? Gue mencintai lo di titik-titik terendah dan tergelap lo, Dim. Gue mencintai lo tanpa pengharapan apakah lo baik atau buruk untuk gue. Gue mencintai lo hanya karena itu lo, karena lo pantas dicintai dengan baik atau buruknya lo, karena cuma lo manusia yang paling mudah sekaligus paling sulit buat dicintai.”
Suaranya pelan, tapi justru terdengar begitu keras di tempurung kepala gue. Gue bersandar di kursi, kehabisan kata-kata buat membalas kalimat Gladys. Tengah malam, rumah sakit benar-benar lengang, dan di antara keheningan yang mencekam itu, gue dan Gladys kemudian larut dalam pikiran masing-masing.
Setelah jeda yang cukup lama, dia menarik napas lagi. “Lo itu paradoks. Mencintai lo berarti meninggalkan lo sendiri, karena lo selalu membuat garis di mana orang-orang yang mencintai lo mulai ragu, lo terlalu membentengi diri—seolah semua orang gak pernah ada yang benar-benar berarti buat lo. Dan di titik tertentu, pergi jadi satu-satunya hal terbaik supaya cinta ini gak berubah jadi benci.”
“Gimana gue gak membentengi diri sendiri kalau selama ini yang gue dapat gak pernah setimpal sama apa yang gue beri?” Gue gak pernah menyangka tawa yang mengakhiri pertanyaan gue bisa segetir itu.
Yang gue tahu, gue harus selalu kelihatan senang—baik-baik aja, seperti pilar yang kokoh. Jadi, setiap kali ada sesuatu yang melukai gue, gue sering menghiraukan hal tersebut, seolah itu gak mampu menyakiti gue. Rupanya, Gladys menyimpulkannya dengan cara lain.
“Lain kali, lo harus lebih tulus ngelakuin sesuatu. Gue, Hana… bukannya kita berdua udah cukup buat jadi bukti?” Gladys menoleh, tatapannya jatuh tepat di mata gue. “If someone really that matter in your life, and she give a sign that she’s enough and wanna leave, you should fight for her to stay, aren’t you?”
Gue balas tatapannya, tapi gue gak mampu balas pertanyaannya. Bukan, bukan karena gue gak tahu harus menjawab apa, tapi justru karena gue tahu, dan gue merasa ditinju keras-keras.
Terkadang gue harap gue bisa melakukan itu, memperjuangkan Gladys sewaktu dia tiba-tiba pergi, memperjuangkan Hana sewaktu dia memutuskan buat pergi juga, tapi bahkan gue gak berusaha melakukannya karena gue gak percaya diri. Mereka melepaskan gue seakan gue memang gak layak dipertahankan, apa yang bisa gue harapkan lagi jika begitu adanya?
“Lo harus belajar mencintai diri lo sendiri, jauh lebih dulu sebelum lo mencintai orang lain. Jadi begitu mereka mau pergi, lo bisa merjuangin mereka karena lo tau lo udah ngasih yang terbaik—alih-alih membiarkan mereka pergi begitu aja dan berujung ngerasa kalau lo gak pantas dicintai.”
Sepertinya, exchange memang mengubah Gladys dari seorang perempuan cengeng semi pemarah yang selalu berpikir kalau semua orang di sekitarnya menyebalkan, jadi seorang wanita dewasa yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dia kelihatan kayak orang yang udah berdamai sama dirinya sendiri.
Senyum gue tertarik begitu pandangan kita mengunci satu sama lain, gue rasa… itu bukan karena exchange.
Jadi benar, ya? Kalau patah hati bisa mengubah seseorang.
Obrolan gue dan Gladys berakhir di situ, ketika malam beranjak semakin larut dan ia berpamitan lebih dulu karena harus membawa Hana kembali ke rumah. Dari jauh, gue amati keduanya yang berjalan bersebelahan selama menuju tempat parkir, dan meski gue gak dengar apa yang Gladys bicarakan pada Hana, gue tahu apapun itu, pasti sesuatu yang baik.
Gue mungkin gak bisa menjaga Hana seperti yang ingin gue lakukan atau seperti yang Keenan harapkan, tapi bisa memastikan kalau Hana gak sendirian udah lebih dari cukup buat gue—suatu pencapaian, karena gue gak biasanya merasa bahagia untuk hal-hal yang bukan gue alasannya.
Lagi-lagi, ternyata benar ya, patah hati bisa mengubah seseorang.
Dan seperti Gladys, gue harap gue bisa segera berdamai dengan diri sendiri.