Tidak Pernah Ada Kita
[HANA]
Dugaanku benar. Ketika membuka pintu toilet, aku tidak terkejut mendapati Kak Gladys berdiri menghadap cermin besar dengan kedua tangannya bertumpu di westafel. Aku sempat ragu untuk melangkah, apalagi saat menyadari bahunya berguncang begitu keras, sampai aku bisa mendengar isakannya yang pilu.
Tapi kakiku tetap bergerak, kedua tanganku ingin merengkuhnya─seperti dulu, dan tetap seperti dulu, kerapuhannya selalu saja seolah memintaku untuk mendekat.
Meski pada akhirnya, ia juga selalu saja keluar dengan penolakan.
“Sejak kapan?” tanyanya, menoleh dan menatapku dengan matanya yang berlinang. “Sejak kapan lo pacaran sama Dimitri?”
Aku menelan ludah yang terasa getir. Kejadian ini, rasanya seperti deja vu, seperti kembali ke masa lalu. Benakku seakan dibawa berlari ke malam sewaktu Papa mengajakku dan Bunda tinggal di rumah mereka pertama kali─malam setelah pesta pernikahan. Kak Gladys juga menangis di dalam kamar mandi, menceracau tentang ruang kerja mendiang ibunya yang di renovasi menjadi kamarku. Rasanya, melihat Kak Gladys detik ini, sama seperti malam itu.
“Ci…”
Maaf, maaf karena gue bahkan gak punya cukup keberanian buat meminta maaf.
“Gue tanya lo sejak kapan pacaran sama dia!”
Aku menggeleng pelan, menahan air mataku sendiri. “Gue gak tau, dia tiba-tiba bilang begitu di depan lo.”
Kak Gladys menggigit bibir bawahnya─membentuk senyum, tapi tangisnya justru semakin kencang. “Dia udah rencanain ini semua dengan baik ternyata.”
“Maksudnya?”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Kak Gladys bergerak menutupi wajah dengan kedua tangannya. Di sudut itu, ia nampak begitu rapuh, luka-lukanya terlihat jelas, tak lagi berusaha ia sembunyikan di balik topeng dingin penuh keangkuhan yang selalu dibanggakannya.
“Lo sama Bunda lo… benar-benar mirip, ya?”
Aku menengadahkan wajah, memandang langit-langit toilet sampai lampunya memburam di pandangan.
“Bunda lo ngerebut Papa dari Mama, sekarang lo ngerebut Dimitri dari gue. Sama, Hana. Persis.”
Dadaku mencelus mendengar rentetan kalimat menyakitkan itu. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya berjatuhan tanpa kendali. Aku hanya… aku, tidak bisa menampik semuanya. Fakta bahwa Bunda merebut Papa itu memang benar adanya dan itulah alasan kenapa sampai detik ini aku tidak bisa berdamai dengannya bahkan dengan diriku sendiri; karena jauh di dalam, aku merasa bersalah atas semua sakit hati yang Kak Gladys derita.
Dan sekarang… aku merebut siapa, katanya?
“Kak Dimitri?” tanyaku tak yakin─atau lebih tepatnya, aku tidak mau yakin. Aku tidak mau mempercayai apapun lagi, aku tidak mau menahan rasa bersalah untuk apapun lagi.
“Iya. Dimitri, mantan gue!” Kak Gladys kemudian buru-buru menggeleng. “Kita bahkan belum putus, gak pernah ada kata putus di antara gue sama dia karena cerita kita emang belum selesai. Tapi lo, lo siapa? Siapa lo berani-beraninya masuk di hubungan gue sama dia?!”
“Gue─” Kalimatku berhenti di ujung tenggorokan. Sadar kalau sejak awal, akulah yang memulai ini semua, akulah orang yang lebih dulu mengusik hidup Kak Dimitri. Aku menutup mata, merasakan penyesalan dan rasa bersalah lagi-lagi mendekapku erat. Sesakit itu.
Kak Gladys kemudian membasuh tangannya, menarik napas dalam-dalam sembari menatap cermin. Tatapannya kosong, namun sorot dingin dan angkuh itu telah kembali lagi, membayang di kedua mata tajamnya. “Gue gak peduli sama kalian. Kalian emang cocok bersama, dua orang yang udah nyakitin gue,” ucapnya datar. Ia menyeka sisa-sisa air mata di wajahnya sebelum berbalik menghadapku. “Gue pasti kelihatan menyedihkan banget di mata lo, lupain itu. Gue emang sakit hati tapi setidaknya gue gak jadi orang yang sakit sendirian di cerita ini.”
“Gue minta maaf.”
Kak Gladys tak langsung menjawab, ia berbisik tepat di sisiku. “Gak semudah itu. Kesalahan bunda lo, kesalahan lo, akan gue ingat seumur hidup gue.” Matanya berkaca-kaca sewaktu mata kami bertemu. “Mungkin nanti, mungkin nanti lo akan paham kemarahan gue ketika dunia lo hancur kayak dunia gue sekarang.”
…. Haruskah? Tidakkah ia mengerti bahwa duniaku juga sudah hancur sejak dulu dan aku sedang tertatih membangun yang sekarang dengan puing-puing yang tersisa?
Kak Gladys berderap pergi, meninggalkanku yang masih terpaku di posisi dengan kalimatnya yang terus menerus bergaung di kepala. Tapi sebelum benar-benar keluar dari toilet, Kak Gladys berbisik lagi, dalam, penuh perasaan.
Katanya, “Hati-hati sama Dimitri. Lo baru tau kan kalau dia bisa segila ini?”
Handel pintu itu telah lama dalam genggamanku, namun tak kunjung kudorong karena semesta sepertinya ingin membuatku jauh lebih runtuh lagi hari ini. Aku baru saja sampai di ruangan terpisah tempat awal Kak Dimitri mengenalkanku pada teman-temannya ketika obrolan dari dalam menghentikan niatku untuk menuntut penjelasan, dan dengan caranya sendiri, penjelasan yang ingin kuketahui itu terbongkar bahkan sebelum aku pinta.
“Lo lihat gak waktu Gladys pergi sambil nangis?” Itu suara Kak Johnny. “Sedih gue lihatnya cuy, pengen meluk.”
Gelak tawa mereka berhamburan setelahnya, dan aku tidak mengerti bagian mana dari ini semua yang bisa ditertawakan.
“Berarti jadi dong ditraktir di Sky Lounge? Kan, udah jadian sama Hana.”
“Gue gak pernah janji mau neraktir lo.”
Aku tidak tahu apa yang membuatku kembali ingin menangis detik itu, tapi sesak sekali mendengar suara Kak Dimitri yang baik-baik saja─maksudku, setelah menghancurkan Kak Gladys, tidakkah ia merasa bersalah? Aku seperti tak lagi mengenal orang yang beberapa menit lalu begitu kusukai, seolah ia tidak teraba, atau mungkin aku memang tidak pernah benar-benar merabanya.
“Tapi kalau diingat-ingat, gue menang taruhan gak sih? Jo, lepas baju lo, bangke! Pulang dari sini, puterin Bundaran HI.”
“Alah serius dodol?”
“Dih. Serius gue.”
Tawa mereka melambung lagi, sementara aku menyandarkan punggung di pintu, bingung harus bagaimana, lelah dengan keadaan.
Lalu, suara Kak Dimitri terdengar serak─dan berat. “Gue puas hari ini. Gue puas lihat luka di mata Gladys. Kayak….”
“Kayak apa?”
Ia terkekeh pelan. “Kayak, gue ngembaliin luka yang udah dia kasih ke gue. Kayak gitu rasanya.”
Aku menggigit bibir kuat-kuat, tanganku mengepal di sisi-sisi tubuh. Tenggorokanku tercekat, ingin teriak dan membungkam di saat bersamaan. Kak Gladys, sosok yang ingin kulindungi meski aku tak mampu, bagaimana mungkin orang yang kukagumi justru bersenang-senang di atas penderitaannya?
“Tapi kenapa lo kelihatan gak bahagia, Dim?”
“Maksud lo? Gue bahagia.”
Suara yang setenang telaga kemudian memasuki obrolan itu, kalimatnya bermakna kontradiktif dengan kalimat-kalimat yang sebelumnya. “Gladys gak sepenuhnya salah, ketika dia bilang lo lagi nyakitin diri lo sendiri, gue rasa itu─”
“Gue bahagia, Tio!” sentak Kak Dimitri, tubuhku menegang di balik pintu. “Apa maksud lo bilang begitu? Kalau gue selama ini pura-pura? Kalau yang gue lalui sama Hana cuma pura-pura?”
“Menurut lo sendiri gimana?”
“Jangan bercanda! Gue bahagia menang taruhan, gue bahagia dapatin Hana dan gue puas udah berhasil balas dendam ke Gladys hari ini, itu jawaban gue!”
Begitukah?
Napasku memburu begitu mendorong pintu ruangan dengan tenaga yang tersisa, Kak Dimitri menoleh padaku dengan raut yang tak terbaca. Kupandangi berbotol-botol minuman beralkohol yang memenuhi meja, kemudian pandanganku jatuh menatap satu per satu manusia di sana, sebelum berhenti pada sosok yang kini tengah berdiri sembari berusaha meraih lenganku.
“Onye? Lo dari kapan─”
“Apa? Kaget?” Kutatap dia, nyalang. “Gue yang harusnya paling kaget di sini!”
“Hana, lo kenapa?” Kak Dimitri kembali mencoba memegang tanganku yang langsung kutepis kasar. Ia mengernyit. “Kalau lo tiba-tiba marah begini gue gak paham harus jelasin dari mana, tolong….”
“Emang mau jelasin apa? Kalau Cici itu mantan lo dan gue cuma dimanfaatin? Kalau gue cuma bahan taruhan lo sama teman-teman lo?”
Aku tidak ingin menangis lagi─tidak di depan seseorang yang sudah membuatku merasa seperti sampah, tapi rasanya sakit, sakit karena beberapa menit lalu, seseorang ini jugalah yang membuatku merasa berarti.
“Lucu pasti lihat gue ngejar-ngejar lo, kan? Lucu pasti jadiin perasaan gue mainan lo, kan? Ketika nyatanya lo cuma butuh gue buat malam ini, cuma buat nyakitin kakak gue.”
“… Kakak?”
“Cici─Kak Gladys itu kakak tiri gue! Gimana ceritanya, lo, dan semua rencana jahat lo itu ngejadiin gue alat buat nyakitin kakak gue sendiri?”
Kak Dimitri mengerjap bingung, pupil matanya bergetar. “Kakak lo? Gue gak tau, sumpah gue gak tau dia kakak lo.”
“Percuma,” balasku. Toh semua memang sudah terjadi.
“Onye, please dengar gue. Gue minta maaf karena udah manfaatin lo, tapi yang taruhan itu gak benar. Itu cuma candaan─”
Aku buru-buru mengangguk. “Candaan? Makasih, candaannya gak lucu, Kak. Gue senang pernah jadi candaan buat lo.” Setelah mengusap air mata yang membanjiri pipi, aku lekas melangkah mundur, bersiap pergi.
“Hana, lo gak sebercanda itu buat gue!” Kak Dimitri menarik tanganku, tapi berada di sini; di sisinya, adalah hal terakhir yang kuinginkan. I don’t belong here.
“Bagian mana yang harus gue percaya kalau selama ini lo bohongin gue?” tanyaku, berlinang menatap matanya yang seolah hilang kendali. Dia, benar-benar seperti orang asing, aku tak lagi dapat mengenali tatapannya. “Sekarang gue jadi penasaran, apa yang kemarin kita punya itu nyata?”
Apa pernah ada kata kita di perjalanan ini?
“Jangan pergi,” pintanya, namun aku telah memilih untuk berbalik, dan berjalan menjauh. “Hana, jangan pergi.”
Panggilan itu masih terus terdengar sampai aku menulikan pendengaranku sendiri. Sebab jika aku berhenti, aku takut aku tak punya keberanian untuk pergi di lain waktu. Sementara menetap pun rasanya tidak mungkin, karena jika aku terus di sini, bersama perasaannya yang ragu-ragu, kelak aku yang akan kehilangan diriku karena mencintai seseorang yang ternyata hatinya tidak bisa kubawa pulang.
Aku, tidak bisa meneruskan kisah dengan seseorang yang langkahnya tidak pernah bersamaku.
Untuk itu, malam ini, detik ini….
Aku menyerah.