Semesta Menjawab
[HANA]
Berbekal pesan dari Ardika yang menyusul balasan Keenan, dengan perasaan tak karuan kutinggalkan segala ragu dan takut yang menjelma menjadi satu, menyeret serta Kak Gladys untuk mengantarku ke rumah sakit tempat Keenan di rawat dulu.
Melewati kemacetan ibukota dan setengah jam kemudian, aku tiba di sana, mematung di depan pintu salah satu ruang rawat yang tengah terbuka.
Berat. Kakiku berat untuk melangkah, seolah keduanya sudah menyatu dengan lantai. Aku membekap mulut yang hampir ingin berteriak ketika menyadari di dalam sana, sosok yang memunggungiku itu tengah terkekeh-kekeh di atas ranjangnya.
Ia kembali. Ia… sungguh kembali.
Ardika dan Keana yang lebih dulu menyadari kedatanganku lalu melambaikan tangan, membuat Keenan lantas menoleh. Sejurus kemudian, mata kami berpandangan, dan begitu senyumnya melengkung, pertahananku runtuh seluruhnya.
Aku terisak.
Jahat.
Dasar lelaki jahat!
“Heh, kok nangis?” tanyanya tanpa rasa berdosa. Tangannya terbuka, memberiku tanda untuk mendekat.
“Lo… beneran Keenan?”
Ia tertawa semakin lebar. “Bukan. Pangeran William.”
“Jangan bercanda!” sentakku sembari menangis sejadi-jadinya. Keenan terperangah sesaat, namun senyumnya kembali melengkung ketika akhirnya ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Kenapa nangis, hm?” Sorot matanya melembut, mengusap air mata yang terus berjatuhan membasahi pipiku. Sementara itu, sebelah tangannya yang lain melingkar di pinggang, membawaku ke dalam pelukannya perlahan. Begitu merasakan dekapannya, aku menutup mata, tersedu di sana, teringat segala perlakuan burukku padanya dan berpikir kalau aku mungkin tak memiliki kesempatan memperbaiki segalanya.
Namun, di sinilah kami detik ini.
Keenan mengusap belakang kepalaku pelan, hela napasnya teratur, sesekali dapat kurasakan tubuhnya bergetar karena menertawakan tingkahku sekarang.
“Kangen, ya?”
Pertanyaan bodoh.
Aku mengangguk, sibuk menetralkan napas yang masih tersengal. Ia berbisik di telingaku. “Pake banget gak?” tanyanya.
“Iya, pake banget yang banyak.”
“Kasih tau jangan?” bisiknya lagi, kali ini sorot matanya nampak jahil.
“Apa?”
“Gue juga kangen. Pake banget yang banyak.”
Senyumku segera mengembang mendengar kalimatnya itu. Aku melepas pelukan, lalu mengamati sosok laki-laki yang amat kurindukan ini. Selain kepalanya yang botak dan berat badannya yang turun, kurasa Keenan tak banyak berubah. Ia masih Keenan yang sama, Keenan yang memiliki sorot mata secerah matahari pagi, Keenan yang senyumnya sehangat bulan Juli.
“Kepala lo botak,” ucapku sembari melarikan jari-jari di atas kulit kepalanya yang sudah kembali ditumbuhi tambut-rambut kecil, panjangnya kurang dari satu senti. Jika mengusap lebih ke belakang, ada luka bekas jahitan yang belum sepenuhnya sembuh. Kupandangi ia sekali lagi, membayangkan bagaimana hari-harinya selama ini.
Syukurlah, syukurlah Keenan baik-baik saja.
“Kenapa? Gak jadi kangen kalau gue botak? Gue balik aja ya ke Singapura?” Ia pura-pura memberengut.
“Jangan….” Aku merengek, memeluk tangannya seperti seorang anak kecil.
“Ekhem!” Itu suara batuk Ardika. “Mesra amat, dunia berasa milik berdua, ya? Hehe, iya, gue sama Keana mah ngekos,” lanjutnya, menaruh tangan di sekitar leher Keana, sementara Keana menggerutu sendiri dirangkul secara tiba-tiba seperti itu.
Keenan tertawa, sedikit terperangah melihat kemesraan Ardika dan Keana—sudah kubilang, mereka berdua seperti orang pacaran.
Entahlah kapan sebenarnya ini semua di mulai, sejak Keenan hilang, kurasa aku banyak melewatkan momen dalam hidupku, salah satunya adalah hubungan mereka.
“K, gak kangen gue?” Keenan melayangkan tatapan jahil pada Keana. “Gak mau peluk gue juga?”
Keana yang tengah sibuk dengan televisi di langsung membulatkan matanya. “Hah? Apa-apaan lo?”
Keenan melebarkan senyumnya, kemudian merentangkan tangannya kembali, seperti meminta peluk. “Peluk dong? Katanya suka sama gue?”
Giliranku yang membulatkan mata. Apa? Apa tadi, katanya?
“Keenan abis dioperasi kok jadi kayak tayi, ya?” Keana mendelik, membuat Keenan puas tertawa. Aku dan Ardika saling pandang, bingung sendiri.
“Terus aja terus… masih gue pantau, bentar lagi gue sedot ubun-ubunnya sampe penyok,” decak Ardika, yang kubalas dengan anggukan sengit seraya melipat tangan di depan dada.
Aku ingin bertanya tentang maksud kalimat Keenan sebelumnya dan tentang apa saja yang terjadi tanpa kuketahui, tapi melihat ketiga orang ini, saat ini, detik ini, aku merasa aku tak perlu mengkonfirmasi atas apapun. Selamanya, pada merekalah kutemukan tempat yang bisa disebut rumah. Selamanya, pada merekalah kutemukan arti bahagia yang sesungguhnya.
Ardika dan Keana melanjutkan perdebatan mereka yang melibatkan perang bantal serta lemparan bungkus makanan di mana-mana, membuatku dan Keenan tergelak seolah sedang menonton sirkus gratis.
Kemudian, Keenan menarikku kian dekat, mendudukkanku di sisi ranjang—tepat di sebelahnya. Kami berbagi tatap, suara debat Ardika dan Keana masih memenuhi ruangan, tapi satu-satunya suara yang kami dengar justru ungkapan isi hati masing-masing.
Aku menghela napas sembari menarik senyum, mengusap pipinya yang lebih tirus dari yang terakhir kuingat. “Makasih udah pulang.”
“Makasih juga udah nunggu,” jawabnya pelan.
Ah, Keenan….
Andai aku tahu sejak dulu kalau mencintainya semenyenangkan ini, aku rasa aku tak akan ada waktu untuk jatuh cinta pada orang lain yang belum tentu bisa mencintaiku sehebat dirinya.
Semesta, aku sayang Keenan.
Aku cinta dia, pakai banget yang banyak hahahaha.