You Broke Me First

[HANA]

Bangunan tertutup dengan hiasan lampu yang terlalu terang di beberapa sisi itu nampak begitu asing sekaligus mewah untukku. Dalam sekali lihat saja, ada aura aneh yang meliputi tempat itu, seolah-olah aku tak seharusnya masuk ke sana. Aku menarik ujung dress-ku agar menutupi lutut, kemudian merapikan rambut ke depan sembari menunggu Kak Dimitri yang masih bercermin di jendela mobilnya.

Ia sendiri tampak keren dengan tuxedo hitam, rambutnya sedikit diangkat meski beberapa helai masih berjatuhan─ia pasti sengaja ingin memamerkan dahinya.

Aku mengamati beberapa orang yang berjalan melewatiku, sadar bahwa sepertinya ada acara formal di dalam sana. Ah, untung saja Kak Dimitri telah memberitahuku tentang ini, kalau tidak aku pasti salah kostum. Tunggu, tidak mungkin di dalam ada keluarga besar Kak Dimitri, kan? Aku mendadak panik.

“Yuk!” Kak Dimitri kemudian mengamit tanganku, menuntunku ke arah pintu masuk. Namun sebelum benar-benar melewati area parkir, mataku memicing menatap kejauhan, mendapati motor vespa berwarna biru muda yang tampak sangat familiar.

Baron?!

“Kenapa?” tanya Kak Dimitri karena aku berhenti melangkah sembari menoleh ke sana ke mari untuk mencari Ardika.

Baron itu nama motor vespa kesayangan Ardika, kenapa ada di sini?

“Nggak,” balasku, menggeleng sekilas. Motor tadi pasti hanya mirip dengan motor Ardika. Lagi pula Ardika bilang ia akan mencari cara menyusup ke pesta Kak Gladys─seperti tahun lalu yang kami lakukan bertiga dengan Keana. Kalau ia berhasil, seharusnya ia sedang menikmati pesta itu, tapi aku bertaruh Ardika pasti tertangkap dan dipaksa keluar oleh security lagi. Ardika memang menyukai Kak Gladys sejak dulu, itulah sebabnya ia sering nekat walaupun kakak tiriku itu tidak pernah menganggapnya ada.

Kak Dimitri mengeratkan lagi pegangannya di tanganku, kemudian meneruskan langkah memasuki pintu masuk.

Aku tak dapat mengontrol keterkejutan kendati sudah menduga akan seperti apa suasana di dalam. Bahuku yang telanjang terasa meremang merasakan dinginnya ruangan yang temaram dengan gemerlap lampu di langit-langitnya, kemudian tanpa sadar badanku merapat pada Kak Dimitri begitu kami menginjakan kaki ke tempat di mana kerumunan manusia-manusia itu berkumpul sembari menenteng gelas berisi minuman warna-warni.

Beberapa orang menatap kami dengan pandangan menilai, tidak sedikit dari mereka yang kukenali sebagai senior di kampus.

Aku menggaruk tengkuk, kemudian berjinjit pada Kak Dimitri. “Kok pada ngeliatin kita, ya?” bisikku dengan bodohnya.

Kak Dimitri menunduk, menatapku sejenak dengan senyumnya yang tersungging miring. “Kamu terlalu cantik kali,” jawabnya, balas berbisik di telingaku.

“Ih, serius tau!”

Eh, dia malah terbahak. “Kenapa muka kamu jadi merah gitu?”

“Nggak tau ah!” Aku menutup wajahku dengan sebelah tangan, membuat Kak Dimitri semakin tertawa sembari meneruskan berjalan melewati orang-orang yang tidak bisa kulihat dengan jelas karena terlalu remang. Tak lama, langkah kami terhenti di depan sebuah ruangan terpisah, Kak Dimitri menekan handel pintunya kemudian mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu.

Pertama kali memasuki ruangan itu, aku menemukan tiga orang laki-laki tengah duduk melingkari sebuah meja kecil dengan beberapa botol alkohol di atasnya, lalu mataku menyipit menatap seseorang yang balik menatapku dengan senyum jenaka.

Ia menunjukku dengan semangat, membuat semua orang di ruangan sontak menoleh. “Oh jadi ini yang majang foto Presiden BEM di mading?”

“Itu Juan, dia yang nyepuin kamu ke aku,” ucap Kak Dimitri di sebelahku, kemudian membawaku menghampiri teman-temannya. Mereka menyalamiku satu per satu sembari mengenalkan diri─walau aku sudah tahu─tapi rasanya perkenalan ini berbeda, tidak ada formalitas, malam ini, aku seperti diterima sebagai pacar teman mereka.

“Hana, lo haus? Minum ini aja, yang lain rasanya kayak kencing goblin.” Kak Johnny menyodorkan jus buah kotakan beserta sedotannya, yang diterima oleh Kak Dimitri sebelum diberikan langsung padaku. “Protektif amat, cuy! Baru itu, masih tersegel.”

“Yakali aja abis lo buka dulu, lo kasih pelet.”

“Dih, lo kata?”

Aku tak kuasa menahan senyum begitu menerima jus buah kotakan itu dari Kak Dimitri, tapi sebelum menusukkan sedotan, Kak Dimitri berbisik pelan padaku. Katanya, “Bismillah dulu minumnya.”

“Iya, Kak.”

“Kalau habis minum kamu gak naksir aku lagi, berarti fix minumannya abis dijampe-jampe sama Johnny.”

Aku tersedak. “Hah? Kok gitu? Kak Johnny naksir Kakak ya?”

Senyum Kak Dimitri terbit. Manis. “Dia naksir kamu, dulu sih.”

“Serius?”

Kak Dimitri mengangguk pelan, lalu tangannya bergerak membawaku dalam rangkulannya. “Iya, tapi untung kamu naksirnya sama aku. Kalau kamu gak ada, Nye, aku gak tau bakal sekacau apa sekarang.”

“Maksudnya?” tanyaku, menatap Kak Dimitri lebih dalam.

“Maksudnya, aku senang kamu ada di sini. Aku senang waktu itu kamu majang foto aku di mading, aku senang siang itu ketemu kamu di halte. Intinya, aku senang punya kamu.”

Aku tak bisa berkedip, rasanya seperti jatuh terlalu dalam pada tatapannya yang lembut dan tajam bersamaan. Wajah Kak Dimitri hanya berjarak beberapa senti dari wajahku sendiri, namun anehnya aku tak merasa megap udara, justru mendapati pandangannya yang hangat itu, aku merasa damai.

Aku merasa… amat berarti.

“Aku juga senang,” lirihku akhirnya.

“Buat?”

“Buat kita,” ucapku, memasang senyum terbaik yang kumiliki. “Buat malam ini, detik ini.” Aku berjinjit, berbisik di telinganya.

Karena malam ini, detik ini….

Aku benar-benar telah jatuh cinta.


Semakin malam waktu beranjak, kerumunan orang-orang juga semakin riuh. Kak Dimitri menuntunku menuju tempat lain yang kami lewati sewaktu pertama masuk tadi, meninggalkan teman-temannya di ruangan. Dari tempat kami berdiri saat ini, aku bisa melihat panggung kecil di ujung dance floor, dan walaupun tidak terlalu jelas, sepertinya ada acara ulangtahun seseorang di sana.

“Kita kasih ucapan dulu, yuk?” Kak Dimitri lantas menarik tanganku menuju panggung tanpa menunggu jawaban apa-apa dariku. Di sana ramai, sekumpulan orang melingkari pusatnya, saling bertepuk tangan riang dengan lagu-lagu meriah yang sengaja di putar dengan kencang. Ketika kami mendekat, beberapa wajah langsung tertoleh, tatapan mereka menilai, alis-alisnya berkerut bingung seolah aku adalah makhluk berkepala empat.

“Siapa yang ulangtahun?”

Namun rupanya, pertanyaan itu terlalu terlambat untuk kutanyakan karena aku sendiri telah menemukan jawabannya. Suasana yang semula ramai mendadak hening, bisik-bisik tertahan terdengar samar di belakang punggungku. Kerumunan orang itu menepi, seolah memberi jalan untuk kami berdua mencapai panggung utama.

Dan di sanalah kakakku berdiri; gaun putihnya begitu bersinar di terpa lampu, tapi raut wajahnya justru kehilangan sinar yang seharusnya terpancar paling terang─di hari ulang tahunnya.

“Cici?” bisikkanku serupa angin, tak seorang pun mendengar atau memang mereka tak ada yang peduli. Mataku bergetar, di depanku, persis di hadapanku, Kak Gladys melangkah meninggalkan kue ulang tahun yang bahkan belum sempat ia potong, demi menghampiri kami berdua.

Kak Dimitri masih menggenggam tanganku erat, tapi badanku seakan terkunci di tempat, mataku tak bisa beralih dari Kak Gladys yang juga menatapku tanpa berkedip. Bahunya narik turun seiring langkahnya yang kian mendekat, aku tahu ada seribu pertanyaan di kepalanya saat ini─tentang kenapa aku bisa berada di pesta ulang tahunnya.

Karena itu juga yang ingin kutanyakan, kenapa aku ada di pesta ulang tahunnya?

“Lo?” Tatapan Kak Gladys berpaling pada lelaki di sampingku yang kini tengah mengulurkan tangan kanannya.

Happy birthday,” ucap Kak Dimitri, tersenyum ambigu. Alih-alih menerima ucapan itu, Kak Gladys justru terdiam dan tatapannya kembali lagi padaku. Aku ingin buru-buru menjelaskan padanya kalau aku ada di sini bukan karena menguntit, tapi seolah memahami raut kebingungan Kak Gladys, Kak Dimitri kemudian melingkarkan tangannya di sekitar bahuku. “Oh iya, kenalin…. Ini Hana, pacar gue.”

Aku menoleh cepat. Pacar? Sejak kapan?

“Ah…” Belum sempat aku berpikir, Kak Gladys lebih dulu bersuara, “Jadi dia pacar baru lo?”

Kak Gladys, bertahun-tahun aku hidup bersamanya, ia tidak pernah tersenyum padaku barang sedetik saja. Tapi detik ini, ia tersenyum, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas dengan tulus. Aku baru saja akan membalas senyum itu, namun kemudian aku sadar bahwa senyumnya mengundang air mata. Kenapa senyumnya menyimpan luka? Kenapa… Kak Gladys memasang senyum yang sama seperti waktu pernikahan orangtua kami?

“Cewek lo beruntung ya?” Kak Gladys berdeham, menyamarkan nada suaranya yang bergetar. “Dunia pasti selalu berpihak sama dia, kan? Gue rasa dia emang ditakdirin buat selalu ngalahin gue.” Kalimat itu diperuntukkannya untuk Kak Dimitri, namun tatapan kami masih terus beradu, memimik kesedihan satu sama lain.

Aku sendiri dapat merasakan seluruh tubuhku bergetar ketakutan, meski aku tidak tahu jelas apa yang salah dari kedatanganku kali ini, tapi luka yang terpancar di mata kakak tiriku itu nampak begitu nyata; begitu rapuh dan menyakitkan.

Kak Dimitri menggeleng ragu, tangannya mengerat lagi di telapak tanganku. Baru kurasakan tangannya berkeringat dingin─atau itu keringatku sendiri, entahlah.

“Gue gak tau tentang itu, Dys. Satu yang gue tau, dia gak mungkin pergi ketika gue butuh.”

Kak Gladys terbahak, tapi tawanya terdengar seperti isakan.

Tolong. Aku ingin menghambur ke pelukannya sekarang juga.

Well, I hope so.” Kak Gladys menebas jarak, menatap Kak Dimitri lamat-lamat. “Karena gak ada yang ninggalin lo ketika lo butuh. Lo yang ngusir gue dari hidup lo, asal lo tau.”

Aku mengurut kening, benar-benar tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Bisik-bisik itu kian keras, sementara Kak Dimitri mematung dengan sorot mata asing yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

“Kalau ternyata lo ngelakuin hal yang sama ke dia, gue bakal jadi orang pertama yang ketawa.” Kak Gladys tersenyum, setetes air mata jatuh yang langsung buru-buru ia hapus dengan punggung tangan. “Dimitri Maheru… lo kira gue bakal sakit hati? Lo salah, lo yang lagi nyakitin diri lo sendiri, lo selalu aja salah tentang diri lo sendiri!”

Rahang Kak Dimitri mengeras, pegangannya di tangan gue berubah jadi cengkraman.

“Apa?”

“Lo, lagi nipu diri lo sendiri!”

Kalimat terakhir Kak Gladys membuat semua orang terlonjak kaget dan berubah senyap. Setelah menabrak bahu Kak Dimitri, kakakku itu beranjak pergi melewati semua orang, entah ke mana.

Ini semua terlalu tiba-tiba. Harus pada siapa aku meminta penjelasan?

Dan yang terpenting, sekarang aku harus memihak siapa?