Sekeping Surat dan Kehilangan
[HANA]
Aku tidak pernah berpikir, Keenan meninggalkanku dengan cara seperti ini.
Kak Gladys di sampingku mengemudi seraya menguap beberapa kali, terlalu malas untuk menghiburku yang sedang menangis—atau justru ia memang tidak peduli—tapi ada sesuatu dari bahasa tubuhnya yang mengindikasikan kegugupan, sesuatu yang kini menjadi atmosfer di dalam mobil.
Tumpukan pesan dan belasan telepon yang tidak terjawab memenuhi ponsel yang kugenggam erat-erat, chat dari Ardika dan Keana tak mampu kubalas, hanya bait-bait kata tentang kepergian Keenan yang terus menerus berputar di kepalaku, terlalu rumit sampai kurasa seluruh tubuhku menggigil karenanya.
Tahukah kalian bagaimana rasanya dunia kalian hancur hanya dalam satu malam? Seperti tersesat dalam negeri antah berantah, dan kalian tak bisa menemukan diri sendiri dalam kekacauannya?
Karena itulah yang sedang kurasakan saat ini, detik ini.
Kedua kakiku bergetar, seolah bumi yang kupijak akan segera runtuh. Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, Ardika dan Keana terduduk lemas di kursi tunggu. Aku berjalan dengan perasaan gamang sembari menghampiri mereka, sekuat tenaga untuk tidak panik.
Namun usahaku gagal ketika menoleh ke satu sisi, pintu ruang rawat Keenan terbuka lebar, ada petugas yang sedang membersihkan ruangan itu.
Seketika aku tahu, aku terlambat.
“Keenan mana?” Aku dapat mendengar suaraku sendiri, mungkin karena suaraku yang tiba-tiba serak, atau karena orang-orang di sini terdiam, entahlah. Keana menunduk, beberapa detik berlalu dan tidak ada jawaban atas pertanyaanku selain isak tangisnya yang pilu.
“Keenan mana?” aku membeo, seperti orang bodoh. Saat itu, sorot mata yang Keana layangkan padaku nampak begitu sedih. Ketika kuperhatikan, kedua tangannya yang terkepal di atas lutut bergetar.
Kutatap Ardika yang kini bangkit menghadapku, tapi tatapannya tidak kupahami, atau mungkin aku paham tapi aku tidak mau mengakui itu.
Tolong, tolong siapapun bilang padaku bahwa aku salah.
“Keenan mana!” jeritku, menarik-narik lengan Ardika dengan membabi buta. Jika mereka menjahiliku lagi, aku bersumpah aku tidak apa-apa. Jika ini semua mereka lakukan karena ingin menertawakan reaksi konyolku, aku sungguh tidak apa-apa asalkan Keenan tidak pernah ke mana-mana.
Namun, bukan seulas senyuman jenaka, bukan juga getar tawa yang kudapat, melainkan sebuah pelukan. Aku mematung, tapi begitu Ardika mengusap punggungku pelan, dapat kurasakan satu per satu tembok pertahanan diri yang kubangun runtuh begitu saja, meninggalkan seonggok jiwa tanpa cangkang—yang rapuh, yang penuh luka, yang ketakukan setengah mati.
Dalam beberapa detik, aku memejamkan mata saat pelukan itu berlangsung. Pelukan yang hangat, yang seperti bermaksud untuk membagi kekuatan. Sewaktu akhirnya membuka mata, pikiran tentang kehilangan itu telah berhasil menghujam jantungku, melumpuhkan seluruh sarafku.
Keenan pergi. Keenan benar-benar pergi meninggalkanku tanpa pamit.
“Keenan dibawa ke Singapura, dia bakal baik-baik aja di sana,” bisik Ardika berusaha meredamkan tangisku.
Tapi, kenapa Keenan melakukan ini padaku? Kenapa hanya aku yang tidak tahu tentang kapan ia akan pergi? Aku bahkan tidak bisa menemuinya akhir-akhir ini, aku tidak pernah diberi kesempatan untuk bilang bahwa aku akan selalu menunggu kesembuhannya di sini.
“Keenan bakal baik-baik aja, dan kalaupun nggak, dia mau kita ngelanjutin hidup kayak biasa.”
Pembohong!
Bagaimana mungkin aku melanjutkan hidup seperti biasa ketika aku kehilangan separuh hidupku yang lain? Bagaimana mungkin, Keenan sengaja menghindariku hanya karena tahu ia akan pergi tapi tidak bisa memastikan kapan ia akan kembali?
Ardika melepaskan pelukannya, lalu meletakkan kedua tangan di bahuku. Ketika aku menaikkan pandangan untuk menatapnya, sisa-sisa air yang belum mengering masih ada di pelupuk matanya, memerah, menunjukkan luka menganga di baliknya
“Keenan bakal pulang, kan?” tanyaku, padahal aku sadar baik Ardika dan Keana, kami sama-sama tidak tahu jawaban untuk pertanyaan yang satu itu. Tapi aku tetap melakukannya, agar menjadi kuat, agar menjadi berani.
“Keenan bakal pulang,” balas Ardika, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia harus pulang, Na.”
Kemudian, secarik amplop berwarna kecoklatan disodorkannya padaku, yang kutatap dengan sinis. Hati kecilku berkata aku tak boleh menerimanya, sebab apapun yang tertulis di dalam sana, aku tahu itu cara Keenan mengucapkan selamat tinggal.
Aku tidak mau, aku tidak ingin ada perpisahan.
Namun, melihat amplop sederhana itu, aku seperti melihat Keenan sendiri. Bagaimana ia menuliskannya, kapan, dan kenapa? Semua pertanyaan itu mendorongku untuk menerima surat tersebut, lalu menyadari bahwa Keana menggenggam amplop yang serupa.
Tenggorokanku sakit, dadaku sesak—seperti dihujam ribuan jarum—perih.
Aku kembali terisak dalam diam. Rupanya, Keenan telah menyiapkan semuanya.
Dan dengan caranya sendiri, ia telah berpamitan.