Dimitri, Hana, dan Sebuah Versi Bahagia

[HANA]

Kak Dimitri tengah berdiri di bawah pohon tabebuya di selasar kampus begitu aku sampai. Orang-orang masih berkerumun dan berbisik-bisik, memandang Kak Dimitri dengan penasaran, namun tak benar-benar cukup peduli untuk mendekat.

Aku berhenti tepat beberapa langkah di belakangnya, ia terlalu sibuk mengibaskan kemejanya yang agak kotor terkena rerumputan untuk menyadari kehadiranku. Melihatnya seperti ini, tiba-tiba aku merasa sesak, entah ke mana teman-teman gengnya itu. Dari belakang sini, punggung Kak Dimitri terlihat kesepian.

Akhirnya, kuberanikan diri untuk maju dan menarik tangannya menjauh dari sana.

Sesaat, aku merasa déjà vu. Apa yang kulakukan sekarang, persis seperti yang Kak Dimitri lakukan untukku di hari pertama kali kami bertemu. Kini, memori itu terasa begitu jauh, seperti kaset lama yang tak sengaja terputar.

“Kita mau ke mana?” tanyanya di sela-sela langkah kami. Aku diam, tak berkata-kata sampai berhenti di depan pintu ruang UKS. “Gue gak apa-apa,” katanya lagi, tersenyum geli menatapku dan ruang UKS bergantian.

“Gak apa-apa, apanya?” Kuamati goresan-goresan di wajahnya, ada lebam kemerahan di tulang pipinya yang beberapa saat lagi pasti berubah biru keunguan. “Jangan pura-pura mulu, gak mempan lagi, Kak,” dengusku, membuat Kak Dimitri bungkam setelahnya. Kutarik lagi tangannya, membawanya masuk dan duduk di salah satu ranjang putih itu, kemudian menyiapkan kotak P3K.

Setelah cukup lama saling berdiam diri, Kak Dimitri mendecak. “Pukulan temen lo boleh juga.”

Aku mendengus sembari mengusapkan kapas beralkohol ke pipinya. “Iyalah, dia kan anak tekwondo. Masih untung Kakak gak disepak sama dia.”

“Untung apanya? He punched me twice.

“Hah?”

“Pukulan pertama, itu buat sahabat gue, katanya. Terus yang kedua, yang itu buat Hana, gitu.”

Aku menggigit bibir, dihinggapi rasa bersalah. Sahabat yang Ardika maksud sudah pasti Keenan. Aku hanya tak menyangka, ia sampai berbuat sejauh ini, maksudku… di luar segalanya, Kak Dimitri adalah ketua BEM kampus, aku tidak ingin Ardika justru terkena masalah juga.

“Tapi Kakak emang pantas dipukul, by the way,” cetusku.

Kak Dimitri tertawa, tapi tawanya berubah jadi ringisan karena lebamnya tak sengaja kutekan. “Pelan-pelan dong, Nye. Lo kalau mau balas dendam ke gue gak gini caranya.”

“Dih, emangnya situ mainnya balas dendam?”

“Yaudah iya,” balasnya memelas. Kak Dimitri kemudian menutup mata selama aku mengobati luka-luka di wajahnya, membuatku jadi leluasa mengamati sosoknya sesukaku. Kutatap ia lekat-lekat, seakan mengabadikan semua tentangnya… tentang kita.

Aku beringsut mundur tiba-tiba ketika air mataku mulai bergerumul di pelupuk, mengingat apa yang seharusnya kami punya, dan menyadari apa yang akan kulakukan selanjutnya. Sadar kalau aku menjauh, Kak Dimitri membuka matanya, membuatku buru-buru berbalik agar ia tak bisa melihat wajahku.

“Udah selesai,” kataku, menaruh kembali obat-obatan pada tempatnya.

“Oke, thanks.”

Canggung.

Aku benci merasa canggung di dekatnya, padahal dulu sosok inilah yang paling bisa membuatku merasa nyaman. Aku benci bagaimana dunia memainkan semua dan mengubah hal-hal baik jadi buruk dengan sebegitu cepatnya. Bagian paling menyakitkan dari ini adalah, bahwa jauh di dalam, aku tak ingin membencinya, aku tahu kalau setelah semua yang terjadi, Kak Dimitri berhak mendapatkan kesempatan sekali lagi, tapi untuk itu saja aku bahkan tak mampu.

Aku… tak ingin melukai lebih banyak orang lagi.

“Kak, sebenarnya aku mau bilang sesuatu, tapi aku terlalu pengecut buat bilang langsung.” Aku merogoh ke dalam tas, kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat yang kutulis semalaman suntuk untuknya—untuk perpisahan ini.

Kedua alis Kak Dimitri bertaut. “Apa ini? Cek? Akta tanah?”

Serta merta aku tertawa, menyamarkan sedih yang pasti membayang di kedua mataku. Lihat, lihatlah bagaimana caranya berpura-pura, bagaimana mekanisme pertahanan dirinya selalu ingin membangun suasana yang menyenangkan ketika dirinya sendiri pun tahu ini adalah sebuah momen perpisahan.

Aku membuang napas, hampir menangis. “Baca aja, aku harap Kak Dimitri paham.”

Sorot matanya lembut, kemudian sembari menatapku, ia mengangguk perlahan. Kupandangi ia beberapa detik sebelum pergi, berbagi senyum, dan mengucapkan selamat tinggal.

Benar.

Selamat tinggal, Kak Dimitri. Dengan begini, aku harap kita punya bahagia versi kita sendiri.